Pada peristiwa wafatnya Rasulullah Saw. kaum muslimin dilanda kebingungan dan kesedihan yang begitu mendalam. Banyak diantara mereka yang bimbang mengenai sosok pengganti Rasulullah Saw. sebagai pemimpin. Bahkan ada diantara mereka yang tak mempercayai berita tersebut, termasuk diantaranya Umar bin Khattab yang dengan emosi mengatakan akan membunuh siapapun yang berani mengatakan Rasulullah Saw. meninggal.
Lain halnya dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Setelah memastikan Rasulullah Saw. benar-benar telah wafat, dengan tegas ia berkata dihadapan kaum muslimin, “Wahai kaum muslimin! Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sungguh Muhammad telah meninggal dunia. Barangsiapa yang menyembah Allah, maka Allah akan hidup dan tak akan pernah meniggal dunia selamanya.” Kemudian ia membaca firman Allah QS. Ali Imran (3): 144.
وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْ ۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔا ۗوَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ
Terjemahnya:
144. (Nabi) Muhammad hanyalah seorang rasul. Sebelumnya telah berlalu beberapa rasul.122) Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Berkat kebesaran jiwa Abu Bakar Ash-Shiddiq, kaum muslimin akhirnya dapat menerima kenyataan wafatnya Rasulullah Saw. Namun, tentang masalah sosok pengganti Rasulullah Saw. sebagai pemimpin, masih belum menemui titik terang.
Untuk membicarakan hal tersebut, kelompok Anshor mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Saidah. Mendengar kabar pertemuan tersebut, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah bergegas menuju ke sana.
Pertemuan tersebut berjalan alot. Setiap kelompok bersikukuh mengunggulkan calon masing-masing. Kubu Anshor merasa mereka lebih pantas dan mencalonkan Sa’ad bin Ubaidah, sementara kubu Muhajirin juga tak mau mengalah dan mengusulkan pemimpin berikutnya berasal dari kelompok mereka. Menyadari kondisi yang semakin tegang, Abu Bakar Ash-Shiddiq mencoba menengahi dengan menjelaskan bahwa baik Anshor maupun Muhajirin, sama-sama memiliki peran dan jasa penting terhadap Islam.
Mendengar penjelasan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Ubaidah bin Jarrah dari golongan Muhajirin dan Basyir bin Sa’ad dari golongan Anshor meminta seluruh peserta pertemuan agar tetap tenang, mengedepankan musyawarah dan toleransni, serta tetap berpikir jernih. Upaya tersebut berhasil meredam emosi dan gejolak yang terjadi di tengah pertemuan.
Setelah suasana mulai terkendali, Abu Bakar Ash-Shiddiq kembali buka suara mengenai calon yang ia usulkan, dan mengisyaratkan pilihannya kepada Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang saat itu menemaninya. Namun, Umar bin Khattab justru meminta Abu Bakar Ash-Shiddiq membuka tangannya dan membaiatnya sebagai pemimpin.
Umar bin Khattab mengatakan, “Bukankah Rasulullah Saw. telah menyuruhmu menjadi imam salat bagi kaum muslimin ? Jika Rasulullah Saw. sudah percaya kepadamu mengenai soal agama, maka kami akan mempercayai engkau untuk urusan keduniaan, kami serahkan urusan kepemimpinan ini kepada engkau, engkaulah orang kedua yang berada dalam gua waktu itu, dan engkaulah orang yang paling dicintai Rasulullah Saw. dari pada kami.”
Mendengar penjelasan Umar, seluruh peserta pertemuan sepakat dan ikut membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pemimpin pengganti Rasulullah Saw. dengan gelar ‘Khalifatu Rasulillah’. Pertemuan ini mencerminkan budaya musyawarah di tengah kaum muslimin yang berlangsung secara demokratis.
Setelah para sahabat dan kaum muslimin membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pemimpin, beliau tampil menyampaikan pidatonya:
“Saudara-saudara sekalian, saya sudah terpilih untuk memimpin kamu semua, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu sekalian. Kalau saya berlaku baik bantulah saya, kalau anda sekalian melihat saya salah, maka luruskanlah.
Kebenaran adalah suatu amanah, dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kamu adalah kuat dipandangan saya, sesudah haknya saya berikan kepadanya,
Insya Allah. Orang yang kuat di antara kamu adalah lemah dipandangan saya, sehingga saya terpaksa menarik kembali hak daripadanya, Insya Allah! Janganlah ada seseorang dari anda sekalian yang mau meninggalkan jihad.
Apabila sesuatu kaum telah meninggalkan jihad (perjuangan di jalan Allah), maka Allah akan menimpakan kehinaan kepadanya.
Apabila kejahatan sudah meluas pada sesuatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana kepada mereka.
Ikutlah saya selama saya taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Tetapi, apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasul-Nya maka tidak wajib anda sekalian menaati saya. Marilah kita salat, semoga Allah memberi Rahmat kepada anda sekalian.”
Sumber:
- Fanani Zhaenal. 2020. Muhammad: Hijrah ke Madinah. Solo: Tiga Serangkai.
- Katsir, Ibnu. Tartib wa Tahdzib Al-Kitab bidayah wan Nihayah. Usman, Muhammad Ahsam. 2021. Abu Bakar Ash-Shiddiq; Biografi dan Pengangkatan Beliau Sebagai Khalifa. Yogyakarta: Hikam Pustaka.
- Novia, Rina. 2008. Abu Bakar Ash-Shiddiq Pemimpin Lembut Hati & Bijaksana. Jakarta: Dzikrul Hakim.
- Ridha, Muhammad. Muhammad SAW. Sitanggal, Ansori Umar. 2021. Hijrah Rasulullah Ke Madinah. Yogyakarta: Hikam Pustaka.
- Suparno. 2012. Sahabat Rasulullah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Jakarta: PT. Balai Pustaka Persero.
- Tsuroyya, Elfa. 2022. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah.
- Ula, Miftachul dkk. Sejarah Kebudayaan Islam – Studi & Pengajaran Islam. Jakarta: Kementerian Agama.
- Usman, K. 2015. Abu Bakar As-Shidiq Dermawan Harta dan Jiwa. Jakarta: PT. Luxima Metro Media.