Sumber: kompas.com

HAS Berjuluk Grand Old Man Dari Indonesia

Materi Pembelajaran
Butuh waktu sekitar 4 menit untuk membaca tulisan ini

Agus Salim, yang lahir dengan nama Masyhudul Haq pada 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Sumatera Barat, adalah seorang tokoh yang dikenal luas karena prestasinya di bidang diplomasi dan kefasihannya dalam berbahasa asing. Dijuluki “The Grand Old Man”, Agus Salim menguasai tujuh bahasa asing, yaitu bahasa Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman.

Pendidikan dan Karir Awal

Agus Salim adalah putra dari Sutan Mohammad Salim, seorang jaksa dan hakim kolonial di Tanjung Pinang. Ia mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan lanjut ke Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia, di mana ia lulus pada 1903 dengan nilai tertinggi di seluruh Hindia Belanda. Melihat prestasinya, ia berharap agar diberi beasiswa untuk sekolah kedokteran di Belanda. Namun, permohonannya tidak terkabul.

Menggunakan kemampuan bahasa asingnya, Agus Salim memilih bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri, Riau. Pada 1906, ia berangkat ke Jeddah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda. Di sana, ia juga memanfaatkan waktu untuk memperdalam ajaran Islam dan mempelajari diplomasi.

Karir Jurnalistik dan Politik

Setelah lima tahun, atau pada 1911, Agus Salim kembali ke Indonesia dan mendirikan Hollandsche Inlandsche School (HIS). Ia menekuni dunia jurnalistik sejak 1915, dengan menjadi redaktur di Harian Neratja. Setelah itu, ia diangkat menjadi ketua redaksi. Kegiatannya di bidang jurnalistik terus berlangsung hingga menjadi pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Agus Salim juga mendirikan surat kabar Fadjar Asia dan menjadi redaktur di harian Moestika di Yogyakarta.

Pada 1915, Agus Salim bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis dalam organisasi Sarekat Islam (SI). Ia bahkan menjadi pemimpin terkemuka organisasi ini dan dianggap sebagai tangan kanan pemimpinnya, HOS Tjokroaminoto. Agus Salim sempat dituduh memiliki hubungan yang terlalu dekat dengan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini karena surat kabar Neratja, yang sempat didanai oleh Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum pada 1917. Akan tetapi, pada 1918, Neratja justru menjadi media untuk menyampaikan kritik keras terhadap Belanda.

Baca juga :  Abu Bakar Ash-Shiddiq; Peternak Unta yang Gemar Bersegera

Pada 1921, Salim diangkat sebagai anggota Volksraad (dewan rakyat) mewakili Sarekat Islam. Setelah Sarekat Islam pecah, Agus Salim mendirikan Partai Sarekat Islam bersama Tjokroaminoto, yang kemudian menjadi PSSI.

Peran dalam Perjuangan Kemerdekaan

Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, ia diminta untuk menyusun kamus militer untuk digunakan oleh Pembela Tanah Air (PETA). Setelah itu, Agus Salim ditunjuk untuk menasihati para pemimpin Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Hajar Dewantara, yang bertanggung jawab atas Pusat Tenaga Rakyat (Putera).

Pada Maret 1945, Agus Salim ditunjuk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia juga menjadi anggota Panitia Sembilan, yang bertugas untuk menyusun dasar negara.

Karier politik Agus Salim terus berkembang, di mana ia sempat dipercaya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sampai Maret 1946. Pada masa Kabinet Sjahrir, Agus Salim dijadikan Wakil Menteri Luar Negeri, yang memiliki misi diplomatik Indonesia di luar negeri. Ia memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Hubungan Asia di New Delhi, India, sejak Maret hingga April 1947.

Setelah itu, Agus Salim memegang jabatan sebagai Menteri Luar Negeri untuk beberapa kabinet di Indonesia, sebagai berikut:

  1. Menteri Luar Negeri dalam kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947-11 November 1947)
  2. Menteri Luar Negeri dalam kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947-29 Januari 1948)
  3. Menteri Luar Negeri dalam kabinet Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1949)
  4. Menteri Luar Negeri dalam kabinet Hatta II (4 Agustus 1949-20 Desember 1949)
Baca juga :  Dampak Masuknya Islam Ke Indonesia

Selama menjadi menteri luar negeri, Agus Salim pernah menghadiri sidang Dewan Keamanan PBB di New York dan menjadi salah satu tokoh yang terlibat dalam proses Perjanjian Renville. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada Desember 1948, Agus Salim masih menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam kabinet Hatta I. Ia pun menjadi salah satu pemimpin yang diasingkan bersama Sjahrir dan Soekarno ke Berastagi, Sumatera Utara. Sekembalinya dari pengasingan, Agus Salim kembali bertugas menjadi Menteri Luar Negeri untuk Kabinet Hatta II. Tugas diplomatik terakhir yang dijalankannya adalah sebagai delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada akhir 1949.

Kehidupan Setelah Pensiun

Setelah tidak lagi bertugas di pemerintahan, Agus Salim mengundurkan diri dari dunia politik pada 1953 dan kembali menulis. Pada 1953, ia menulis buku berjudul Bagaimana Takdir, Tawakal, dan Tauchid Harus Dipahamkan?, yang kemudian diubah menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal. Pada 4 November 1954, Agus Salim meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Untuk mengenang perjuangan dan peran Agus Salim, ia dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 27 Desember 1961, melalui Keppres Nomor 657 tahun 1961.

Kisah Menarik

Saat menjadi anggota Volksraad (1921-1924) dan tinggal di Bogor, Haji Agus Salim (HAS) kerap bepergian. Itu dilakukan selain untuk mengikuti rapat juga kadang dia harus bertemu dengan rakyat untuk sekadar menyerap aspirasi. Kepergiannya itu bisa ke tempat yang jauh atau bisa saja hanya ke Batavia.

Alkisah, suatu hari HAS harus pergi ke Jakarta. Sambil sekalian jalan-jalan, Zainatun Nahar alias Matje (istri dari HAS) mengajak anak-anak untuk mengantarkan ayahnya hingga Stasiun Bogor. Singkat cerita, berangkatlah HAS ke Batavia lalu mereka pun pulang ke rumah.

Karena merasa agak lelah, pulang dari stasiun Matje langsung ke kamar tidur. Namun saat memasuki kamar, dia langsung berteriak kaget karena didapatinya seseorang sudah terbaring dengan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

Baca juga :  KI-KD dan Materi SKI XII MA ~ KMA. 183 Tahun 2019

Setelah dibuka, “seseorang yang berselimut” itu ternyata adalah HAS. Rupanya dia tidak jadi mengambil jadwal kereta api hari itu dan untuk sekadar mengisengi Matje, HAS pulang mendahalui Matje dan anak-anak lalu secara diam-diam masuk rumah lewat jendela kemudian langsung berbaring di tempat tidur.

Diceritakan dalam buku “100 Tahun Haji Agus Salim”, George Mc. T. Kahin, seorang Guru Besar di Yale University, memiliki pengalaman yang cukup unik dengan Agus Salim. Saat Agus Salim diundang sebagai dosen tamu di universitas terkemuka Amerika Serikat tersebut, para mahasiswa Yale sangat terpukau dengan Agus Salim. Bukan saja karena luasnya pandangan cakrawala pemikirannya, namun juga dengan rokok kretek-nya yang berbau khas.

Begitu khasnya, hingga mahasiswa-mahasiswa Yale tidak terlalu sulit untuk mencari tempat Agus Salim menyampaikan kuliahnya, kendati lingkungan Yale tentunya sangat luas. Bagaimana bisa? Rupanya bau kretek yang dihisap Agus Salim menjadi “petunjuk” tempat berlangsungnya perkuliahan tersebut.

Karena kecerdikannya, Agus Salim kerap dipanggil oleh dunia pers sebagai “The Old Fox” (Srigala Tua). Sebutan itu sangat populer hingga di kalangan para pejabat pemerintahan republik.

Tahun 1927, Buya Hamka yang tengah menimba ilmu di Mekah pernah dinasihati oleh Agus Salim saat mereka bertemu di kota suci tersebut. Agus Salim menyarankan Hamka supaya jangan terlalu lama tinggal di tanah Arab. Menurut Agus Salim, Hamka harus mengikuti jejak sang ayah: Syaikh Abdul Karim Amrullah yang jadi ulama besar timbul dari alam tanah air sendiri. Ada soal-soal agama yang timbul di Indonesia dan yang harus memecahkan masalahnya adalah orang Indonesia sendiri.

“Kalau engkau terbenam bertahun-tahun di Mekah, pulangnya kau hanya akan menjadi tukang baca doa di pesta kendurian…” ujar Agus Salim. Pesan ini menjadi salah satu bukti kebijaksanaan Agus Salim dalam melihat dinamika kehidupan dan perjuangan di tanah air.

Tinggalkan Balasan