Gambar menunjukkan Ka'bah, sebuah struktur berbentuk kubus besar berwarna hitam yang terletak di tengah Masjidil Haram di Mekah, Arab Saudi. Ka'bah dihiasi dengan kain bersulam emas yang dikenal sebagai Kiswah. Di sekitar Ka'bah, terdapat banyak orang yang mengenakan pakaian putih, sedang melakukan Tawaf, yaitu berjalan mengelilingi Ka'bah searah jarum jam. Arsitektur masjid menampilkan banyak lengkungan dan menara. Langit di atasnya sebagian berawan dengan beberapa bagian biru yang terlihat.

Menyalakan Semangat Menjadi Lebih Baik

Cerpen & Sastra Materi Pembelajaran
Butuh waktu sekitar 4 menit untuk membaca tulisan ini

Sore itu, Aisyah baru saja pulang dari sekolah. Gadis berusia 16 tahun itu segera menyalakan laptopnya untuk mengerjakan tugas sejarah Islam dari Bu Fatimah. Tugas kali ini cukup menantang: membuat vlog dengan tema kondisi Mekah sebelum kedatangan Islam.

“Hmm, bagaimana ya caranya membuat topik ini menarik?” gumam Aisyah sambil mengetik di mesin pencari.

Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layarnya. Pesan dari sahabatnya, Rahma.

“Eh Aisyah, udah mulai ngerjain tugas sejarah Islam belum?” tanya Rahma melalui pesan singkat.

“Baru mau mulai nih. Kamu gimana?” balas Aisyah.

“Sama, bingung mau mulai dari mana. Eh, aku dapat ide! Gimana kalau kita bikin kolaborasi? Kita bisa bikin vlog bareng, terus kita bagi topiknya.”

“Wah boleh tuh! Aku ambil bagian kondisi geografis dan demografis Mekah deh. Kamu mau ambil bagian apa?”

“Aku ambil struktur sosial dan kehidupan budaya Mekah aja deh. Nanti kita gabungin hasilnya.”

“Oke, deal!”

Dengan semangat baru, Aisyah mulai menggali informasi. Ia membayangkan Mekah pra-Islam: sebuah kota di tengah gurun, dikelilingi bukit-bukit tandus, namun menjadi titik penting jalur perdagangan.

“Wah, ternyata Mekah punya lokasi yang sangat strategis,” pikir Aisyah. “Pantas saja menjadi kota penting.”

Sementara itu, Rahma asyik mempelajari struktur sosial Mekah. Ia terkejut mengetahui adanya sistem kasta yang mirip dengan di India, meski lebih fleksibel.

Keesokan harinya di sekolah, Aisyah dan Rahma bertemu untuk membahas hasil penelusuran informasi yang telah mereka lakukan.

“Aisyah, tau gak? Ternyata masyarakat Mekah dulu sangat menghargai sastra lho!” seru Rahma antusias. “Mereka bahkan punya festival puisi tahunan!”

“Wah, keren ya! Kalau dari yang aku baca, Mekah itu punya iklim yang ekstrem banget. Suhu bisa mencapai 45°C! Bayangin aja gimana rasanya,” balas Aisyah.

Baca juga :  Perjalanan Menuju Masuknya Islam Ke Indonesia

“Eh, ngomong-ngomong soal ekstrem,” Rahma menambahkan, “struktur sosial mereka juga cukup ekstrem lho. Ada bangsawan, pedagang, sampai budak.”

Aisyah mengangguk. “Iya, tapi yang menarik, meskipun kondisinya keras, mereka terkenal ramah sama tamu. Nilai-nilai kayak keberanian dan kehormatan juga dijunjung tinggi.”

Sepulang sekolah, mereka mulai syuting vlog. Dengan kreatif, mereka menggabungkan pengetahuan sejarah dengan isu-isu kontemporer.

“Halo guys! Balik lagi di channel ini bareng Aisyah dan Rahma,” Aisyah membuka vlog mereka dengan ceria. “Kali ini kita bakal bahas Mekah sebelum Islam. Tapi tunggu dulu, apa hubungannya sama kita di tahun 2024?”

Rahma melanjutkan, “Nah, meski jaraknya ribuan tahun, ternyata banyak pelajaran yang bisa kita ambil nih! Misalnya soal adaptasi.”

“Betul banget!” Aisyah menimpali. “Masyarakat Mekah dulu bisa bertahan di lingkungan yang super ekstrem. Nah, kita di era digital ini juga harus bisa beradaptasi dengan perubahan teknologi yang super cepat.”

Mereka lalu membahas berbagai aspek kehidupan Mekah pra-Islam, dari kondisi geografis hingga kepercayaan masyarakatnya. Setiap pembahasan selalu dikaitkan dengan konteks kekinian.

“Struktur sosial Mekah dulu cukup timpang,” Rahma menjelaskan. “Ada yang super kaya, ada yang jadi budak. Nah, di zaman sekarang, meski nggak ada sistem perbudakan, kesenjangan sosial masih ada lho.”

“Bener banget,” Aisyah menambahkan. “Makanya penting buat kita untuk selalu peka sama kondisi sekitar dan nggak segan berbagi.”

Saat membahas kepercayaan masyarakat Mekah pra-Islam dalam vlog mereka, Aisyah dan Rahma nampak antusias dengan keragaman yang ada.

“Guys, tau nggak? Ternyata Mekah dulu itu pusat berbagai kepercayaan lho,” kata Aisyah dengan antusias. “Ada yang nyembah berhala, tapi ada juga yang masih pegang ajaran monoteisme Ibrahim.”

Baca juga :  Kondisi Masyarakat Madinah Sebelum Islam

Rahma menambahkan, “Iya, bahkan ada juga komunitas Yahudi dan Kristen di sana. Belum lagi kepercayaan animisme dan dinamisme yang masih kuat.”

“Nah, yang menarik nih,” Aisyah melanjutkan, “meski banyak perbedaan, mereka bisa hidup berdampingan. Ada pelajaran penting di sini buat kita di Indonesia yang juga punya keragaman agama dan budaya.”

Rahma mengangguk setuju. “Betul banget! Di zaman sekarang, dengan medsos yang bikin kita gampang terprovokasi, kita justru harus lebih bisa menghargai perbedaan.”

“Tapi guys,” Aisyah menambahkan dengan serius, “ada juga sisi negatifnya. Banyak orang Mekah dulu yang jadi penyembah berhala karena ikut-ikutan aja, nggak pake pikir.”

“Nah, ini relevan banget sama kita sekarang,” kata Rahma. “Di era informasi ini, kita harus lebih kritis. Jangan asal ikut tren atau percaya hoax.”

Setelah selesai syuting, mereka berdua duduk di teras rumah Aisyah, menikmati es teh sambil merenungkan apa yang baru saja mereka pelajari.

“Eh Rahma,” Aisyah memulai percakapan, “ternyata banyak banget yah pelajaran yang bisa kita ambil dari masyarakat Mekah dulu untuk kehidupan kita sehari-hari?”

Rahma berpikir sejenak. “Hmm, iya juga sih. Pertama, soal adaptasi. Masyarakat Mekah bisa bertahan di lingkungan yang keras. Kita juga harus bisa adaptasi dengan perubahan zaman yang cepat.”

“Betul,” Aisyah mengangguk. “Terus apa lagi?”

“Kedua, soal toleransi,” lanjut Rahma. “Meski banyak perbedaan kepercayaan, mereka bisa hidup berdampingan. Kita juga harus bisa gitu, apalagi di dunia maya yang sering bikin salah paham.”

Aisyah tersenyum. “Iya, bener banget. Oh, aku ada satu lagi. Ingat nggak soal tradisi keramahtamahan mereka? Nah, di zaman serba digital ini, kita juga harus tetap jaga sopan santun dan keramahan, baik di dunia nyata maupun di medsos.”

Baca juga :  Masuknya Islam Ke Indonesia (SKI Fase F/Kelas XII)

“Wah iya, setuju!” seru Rahma. “Dan satu lagi nih, soal kecintaan mereka pada sastra dan ilmu pengetahuan. Kita juga harus terus belajar dan mengembangkan diri, nggak cuma jago main game atau nge-vlog doang.”

Mereka tertawa bersama, menyadari betapa banyak pelajaran yang bisa mereka petik dari sejarah untuk diterapkan dalam kehidupan modern mereka.

“Oh iya, Rahma,” kata Aisyah tiba-tiba. “Ingat nggak soal sistem kasta di Mekah dulu? Meski nggak sekaku di India, tapi tetap ada kesenjangan sosial.”

Rahma mengangguk. “Iya, dan sayangnya itu masih ada sampai sekarang, meski dalam bentuk yang berbeda.”

“Nah, menurutmu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kesenjangan sosial di sekitar kita?” tanya Aisyah.

“Hmm,” Rahma berpikir sejenak. “Mungkin kita bisa mulai dari hal-hal kecil. Misalnya, berbagi ilmu dengan teman yang kesulitan belajar, atau ikut program berbagi makanan untuk yang kurang mampu.”

“Iya, bener!” Aisyah menyetujui. “Dan kita juga bisa manfaatin medsos untuk kampanye kebaikan dan kesadaran sosial.”

Malam itu, sebelum tidur, Aisyah membuka jurnal hariannya dan menulis:

“Hari ini aku belajar banyak dari sejarah Mekah. Ternyata, masa lalu punya banyak pelajaran untuk masa kini. Mulai besok, aku akan lebih peka, lebih adaptif, dan lebih menghargai perbedaan.”

Dengan senyum di wajahnya, Aisyah menutup jurnalnya dan mematikan lampu. Hari yang penuh pelajaran telah berlalu, namun semangat untuk terus belajar dan berbuat baik akan selalu menyala dalam hatinya.

Tinggalkan Balasan