Fajar menghela nafas panjang, matanya menatap layar laptop yang berkedip-kedip di tengah kamarnya yang remang-remang. Jam dinding menunjukkan pukul 01:30 dini hari, tapi tugas sejarah Islam dari Bu Aini masih jauh dari selesai. “Bikin video tentang teori dan proses masuknya Islam ke Nusantara? Mending bikin TikTok dance aja deh,” gerutunya sambil mengacak-acak rambut frustasi.
Tangannya meraih smartphone, berniat scrolling media sosial untuk sejenak menghibur diri. Namun, sebuah notifikasi aneh muncul di layar laptopnya: “Mau tahu kisah seru masuknya Islam ke Nusantara? Klik di sini!”
Fajar mengerutkan dahi. Instingnya sebagai digital native berteriak “Jangan klik! Itu virus!” Tapi rasa penasarannya menang. Dengan ragu, dia mengklik pop-up itu.
WUSHHH!
Seketika, kamarnya berputar seperti pusaran air. Fajar memejamkan mata, pusing dan mual. Ketika dia memberanikan diri membuka mata, pemandangan di depannya membuatnya ternganga. Dia berdiri di sebuah pelabuhan kuno, ramai dengan kapal-kapal besar dan orang-orang berpakaian asing yang sibuk hilir mudik.
“Ini… di mana?” gumamnya bingung, mencubit pipinya sendiri untuk memastikan ini bukan mimpi.
“Selamat datang di Pelabuhan Samudra Pasai, anak muda,” sapa seorang pria berjenggot lebat yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Pria itu mengenakan jubah panjang dan sorban, penampilannya mirip tokoh-tokoh dalam buku sejarah yang sering Fajar lihat. “Aku Ibnu Battuta, pengembara Muslim dari Maroko.”
Fajar mengucek matanya, masih tidak percaya. “Tapi… bagaimana bisa? Aku tadi di kamar… Dan bukankah Anda tokoh sejarah dari abad ke-14?”
Ibnu Battuta tersenyum misterius. “Anggap saja ini… perjalanan virtual sejarah. Kau ingin tahu tentang teori dan proses masuknya Islam ke Nusantara, bukan? Nah, daripada hanya membaca buku atau menonton video, bagaimana kalau kita menjelajahi sejarah secara langsung?”
Fajar mengangguk ragu, masih bingung tapi juga penasaran. “Baiklah… tapi bagaimana caranya?”
“Ikuti aku,” kata Ibnu Battuta, mengeluarkan sebuah kompas antik dari sakunya. “Kompas ajaib ini akan membawa kita menjelajahi ruang dan waktu, menyaksikan langsung berbagai teori masuknya Islam ke Nusantara.”
WUSHHH!
Pemandangan berubah. Mereka kini berdiri di pesisir Gujarat, India.
“Teori pertama: Teori Gujarat,” jelas Ibnu Battuta. “Dikemukakan oleh sejarawan Belanda, J. Pijnappel dan C. Snouck Hurgronje pada abad ke-19. Mereka berpendapat Islam masuk ke Nusantara dari sini sekitar abad ke-13. Lihat para pedagang itu?” Dia menunjuk sekelompok orang yang sedang memuat barang ke kapal. “Mereka akan berlayar ke Nusantara, membawa tidak hanya barang dagangan, tapi juga ajaran Islam.”
Fajar mengamati dengan seksama. “Apa buktinya, Pak?”
“Nah, itu pertanyaan bagus!” Ibnu Battuta tersenyum. “Salah satu bukti utama adalah batu nisan Sultan Malik Al-Saleh, penguasa Samudra Pasai, yang mirip dengan batu nisan di Cambay, Gujarat. Selain itu, catatan dari Marco Polo yang mengunjungi Sumatra pada 1292 menyebutkan adanya komunitas Muslim di sana.”
Fajar mengangguk, mulai tertarik. “Tapi bukankah teori ini ada kelemahannya, Pak?”
“Pintar!” puji Ibnu Battuta. “Memang benar. Gujarat baru menjadi kerajaan Islam pada 1298, sementara ada bukti Islam sudah ada di Nusantara sebelum itu. Misalnya, batu nisan Sultan Malik Al-Saleh sendiri berangka tahun 1297. Ini menimbulkan perdebatan di kalangan sejarawan.”
WUSHHH!
Kali ini, mereka berpindah ke sebuah kota di Persia.
“Teori Persia,” Ibnu Battuta melanjutkan. “Dikemukakan oleh Hoesein Djajadiningrat. Perhatikan ornamen-ornamen di bangunan ini. Mirip dengan beberapa masjid kuno di Nusantara, bukan?”
Fajar memperhatikan dengan seksama. “Iya, mirip! Apa lagi buktinya, Pak?”
“Bagus, kau mulai berpikir kritis!” Ibnu Battuta menepuk pundak Fajar. “Ada beberapa bukti menarik. Pertama, banyak istilah Persia yang digunakan dalam sistem pemerintahan Islam di Nusantara, seperti ‘syahbandar’. Kedua, perayaan 10 Muharram atau Asyura yang populer di beberapa daerah di Indonesia mirip dengan tradisi Syi’ah di Persia. Ketiga, beberapa ajaran tasawuf yang berkembang di Nusantara memiliki kemiripan dengan ajaran sufi Persia.”
Fajar mengangguk antusias. “Wow, jadi pengaruh Persia cukup kuat ya?”
“Betul sekali. Tapi ingat, ini hanya salah satu teori. Mari kita lihat teori lainnya!”
WUSHHH!
Mereka kini berada di sebuah pelabuhan di Arab.
“Teori Arab,” kata Ibnu Battuta. “Didukung oleh sejarawan seperti Hamka dan T.W. Arnold. Mereka percaya Islam datang langsung dari Arab ke Nusantara, dibawa oleh para pedagang dan dai.”
“Apa buktinya, Pak?” tanya Fajar, semakin tertarik.
“Pertama, mayoritas Muslim Indonesia bermazhab Syafi’i, sama seperti di Arab selatan. Kedua, ada catatan China yang menyebut adanya pemukiman Arab Muslim di pantai barat Sumatra pada 674 M. Ketiga, beberapa prasasti kuno di Nusantara menggunakan gelar Arab, seperti ‘al-malik’ untuk raja.”
Fajar mengangguk, mencoba mencerna informasi. “Jadi teori ini mengatakan Islam sudah ada di Nusantara sejak abad ke-7?”
“Tepat sekali! Ini membuat teori Arab menjadi salah satu yang paling awal dalam menjelaskan masuknya Islam ke Nusantara.”
WUSHHH!
Pemandangan berubah lagi. Kini mereka berdiri di sebuah pelabuhan kuno di China.
“Nah, ini teori yang mungkin belum kau dengar,” Ibnu Battuta tersenyum misterius. “Teori China.”
Fajar terkejut. “China? Bukankah China bukan negara Islam?”
“Ah, tapi sejarah selalu penuh kejutan, anak muda,” Ibnu Battuta menjelaskan. “Meskipun bukan teori utama, beberapa sejarawan berpendapat bahwa ada peran China dalam penyebaran Islam di Nusantara.”
“Bagaimana bisa, Pak?” tanya Fajar penasaran.
“Pertama, ada catatan bahwa Laksamana Cheng Ho, seorang Muslim China, melakukan beberapa ekspedisi ke Nusantara pada awal abad ke-15. Kedua, beberapa masjid kuno di Jawa, seperti Masjid Demak, memiliki ornamen yang mirip dengan arsitektur China. Ketiga, ada beberapa komunitas Muslim China yang menetap di pesisir Jawa sejak abad ke-15.”
Fajar mengangguk, takjub dengan informasi baru ini. “Jadi, Islam bisa masuk dari berbagai arah ya, Pak?”
“Betul sekali! Itulah mengapa studi sejarah begitu menarik. Selalu ada perspektif baru untuk dieksplorasi.”
WUSHHH!
Pemandangan berubah lagi. Kini Fajar dan Ibnu Battuta berdiri di tepi pantai yang ramai dengan kapal-kapal besar.
“Ini adalah Pelabuhan Malaka,” jelas Ibnu Battuta. “Salah satu pusat penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mari kita lihat lebih dekat proses dan jalur masuknya Islam.”
Mereka berjalan menyusuri pelabuhan yang sibuk. Fajar takjub melihat beragam orang dari berbagai negeri berkumpul di satu tempat.
“Lihat pedagang Arab itu,” Ibnu Battuta menunjuk. “Dia sedang berbicara dengan seorang bangsawan lokal. Ini adalah contoh nyata jalur perdagangan dalam penyebaran Islam.”
Fajar mengangguk antusias. “Jadi mereka tidak hanya berdagang barang, tapi juga ‘berdagang’ ide dan kepercayaan?”
“Tepat sekali!” Ibnu Battuta tersenyum. “Para pedagang Muslim ini membawa tidak hanya barang dagangan, tapi juga nilai-nilai Islam. Mereka mencontohkan kejujuran dalam berdagang, keadilan dalam bertransaksi, dan keramahan dalam berinteraksi. Hal ini menarik minat penduduk lokal terhadap Islam.”
WUSHHH!
Mereka berpindah ke sebuah istana megah.
“Ini adalah Istana Kesultanan Malaka,” Ibnu Battuta menjelaskan. “Di sinilah kita bisa melihat contoh jalur politik dalam penyebaran Islam.”
Fajar melihat seorang raja sedang berdiskusi serius dengan beberapa orang berpakaian Arab.
“Raja Malaka, Parameswara, masuk Islam dan mengambil gelar Sultan Iskandar Syah,” lanjut Ibnu Battuta. “Keputusan ini membawa dampak besar. Banyak rakyatnya yang kemudian juga memeluk Islam.”
“Wow,” Fajar terkagum. “Jadi pemimpin punya peran besar ya dalam penyebaran Islam?”
“Benar sekali. Ini yang disebut ‘top-down conversion’. Ketika pemimpin masuk Islam, banyak rakyatnya yang mengikuti.”
WUSHHH!
Kini mereka berada di sebuah perkampungan nelayan.
“Nah, di sini kita bisa melihat jalur perkawinan,” Ibnu Battuta menunjuk ke arah sebuah rumah mewah. “Lihat, itu adalah rumah seorang pedagang Arab yang menikah dengan putri kepala desa setempat.”
Fajar melihat sepasang pengantin yang tampak bahagia, dikelilingi oleh penduduk desa yang bersuka cita.
“Perkawinan seperti ini membuka jalan bagi penyebaran Islam di kalangan masyarakat biasa,” jelas Ibnu Battuta. “Keluarga besar sang putri biasanya akan ikut memeluk Islam, dan ini menciptakan komunitas Muslim baru di daerah tersebut.”
WUSHHH!
Pemandangan berubah lagi. Kini mereka berada di sebuah pesantren sederhana.
“Ini adalah contoh jalur pendidikan,” Ibnu Battuta menjelaskan. “Para ulama dan sufi tidak hanya mengajarkan agama, tapi juga ilmu pengetahuan lain seperti astronomi, kedokteran, dan filsafat.”
Fajar melihat sekelompok santri yang tekun belajar, mencatat di atas daun lontar.
“Pesantren seperti ini menjadi pusat penyebaran ilmu dan budaya Islam,” lanjut Ibnu Battuta. “Para santri yang telah selesai belajar akan kembali ke daerah asal mereka dan menyebarkan ilmu yang mereka dapat.”
“Keren!” seru Fajar. “Jadi pesantren dulu juga seperti universitas ya?”
“Bisa dibilang begitu,” Ibnu Battuta tersenyum. “Mereka adalah pusat ilmu pengetahuan pada zamannya.”
WUSHHH!
Mereka berpindah ke sebuah hutan di pedalaman Jawa.
“Nah, di sinilah kita bisa melihat contoh jalur tasawuf dan seni budaya,” kata Ibnu Battuta. “Lihat, itu Sunan Kalijaga sedang melakukan pertunjukan wayang.”
Fajar takjub melihat kerumunan orang yang menonton pertunjukan wayang dengan antusias. Dia bisa mendengar Sunan Kalijaga menyisipkan ajaran-ajaran Islam dalam cerita pewayangan.
“Para wali seperti Sunan Kalijaga sangat kreatif,” jelas Ibnu Battuta. “Mereka menggunakan seni dan budaya lokal untuk menyebarkan ajaran Islam. Ini membuat Islam mudah diterima oleh masyarakat.”
“Wah, jadi seperti dakwah kreatif zaman sekarang ya?” Fajar mulai menghubungkan dengan konteks modern.
“Tepat sekali!” Ibnu Battuta mengangguk puas. “Prinsipnya sama: menyampaikan pesan Islam dengan cara yang menarik dan sesuai dengan budaya setempat.”
WUSHHH!
Untuk terakhir kalinya, mereka kembali ke kamar Fajar.
“Nah, Fajar,” kata Ibnu Battuta, “setelah melihat semua ini, apa kesimpulanmu tentang proses dan jalur masuknya Islam ke Nusantara?”
Fajar berpikir sejenak, lalu menjawab dengan semangat, “Islam masuk dan menyebar di Nusantara melalui berbagai jalur yang saling terkait. Ada jalur perdagangan yang membawa para pedagang Muslim ke Nusantara. Jalur politik dimana para penguasa masuk Islam dan mempengaruhi rakyatnya. Jalur perkawinan yang menciptakan komunitas Muslim baru. Jalur pendidikan melalui pesantren yang menjadi pusat ilmu. Dan jalur tasawuf serta seni budaya yang membuat Islam mudah diterima masyarakat.”
“Bagus sekali!” puji Ibnu Battuta. “Dan yang terpenting, semua proses ini berlangsung secara damai, bertahap, dan dengan menghormati budaya lokal. Inilah yang membuat Islam di Nusantara memiliki karakter yang khas dan moderat.”
“Lalu, bagaimana aku bisa menerapkan pelajaran ini di zaman sekarang?” tanya Fajar penasaran.
Ibnu Battuta tersenyum bijak. “Coba pikirkan, bagaimana prinsip-prinsip ini bisa diterapkan dalam konteks modern? Misalnya, bagaimana kamu bisa ‘berdagang’ ide-ide positif Islam di media sosial? Atau bagaimana kamu bisa menggunakan seni dan budaya populer untuk menyampaikan pesan-pesan Islam?”
Mata Fajar berbinar-binar. Otaknya dipenuhi ide-ide kreatif. “Aku tahu! Aku akan membuat serial podcast yang membahas setiap jalur masuknya Islam ini, tapi dalam konteks modern. Untuk jalur perdagangan, aku akan wawancara pengusaha Muslim sukses. Untuk jalur politik, aku bisa mengundang tokoh muda yang aktif di organisasi Islam. Untuk jalur perkawinan, aku bisa membahas tentang Ta’aruf di era digital. Untuk jalur pendidikan, aku akan mengulas tentang pesantren modern dan sekolah Islam terpadu. Dan untuk jalur seni budaya, aku bisa mengajak seniman Muslim yang berkarya di industri kreatif!”
“Brilian!” seru Ibnu Battuta. “Itulah semangat para penyebar Islam dulu. Kreatif, adaptif, tapi tetap berpegang pada nilai-nilai Islam. Ingat, moderasi adalah kunci. Jadilah Muslim yang moderat, terbuka pada kemajuan zaman, tapi tetap berpegang teguh pada ajaran agama.”
Dengan kedipan mata, Ibnu Battuta menghilang. Fajar tersentak, kembali ke realitas kamarnya. Jam menunjukkan pukul 01:32.
“Apa itu tadi mimpi?” gumamnya. Tapi ide-ide segar bermunculan di kepalanya. Dengan semangat baru, dia mulai mengetik outline untuk proyek podcastnya.
Keesokan harinya, Fajar membagikan idenya di grup chat kelas. Teman-temannya sangat antusias. Mereka sepakat untuk menjadikan ini proyek besar kelas mereka.
Bu Aini, guru sejarah mereka, terkesima dengan ide Fajar dan teman-temannya. “Ini luar biasa! Kalian tidak hanya memahami sejarah, tapi juga bisa mengaplikasikannya dalam konteks modern. Inilah contoh nyata bagaimana kita bisa menjadi Muslim yang relevan dengan zaman, tapi tetap berpegang pada nilai-nilai agama dan sejarah kita.”
Dalam beberapa bulan, podcast “Jejak Digital Masuknya Islam ke Indonesia” yang dibuat Fajar dan teman-temannya menjadi hits. Mereka bahkan diundang untuk berbicara dalam webinar yang dilaksanakan Kementerian Agama tentang “Membayangkan Kembali Sejarah Islam untuk Era Digital”.
Di hadapan seluruh peserta webinar, Fajar berkata dengan penuh semangat, “Sejarah bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah peta yang menunjukkan jalan kita ke masa depan. Dari para penyebar Islam di Nusantara, kita belajar untuk menjadi Muslim yang adaptif, kreatif, dan moderat. Di era digital ini, kita semua bisa menjadi ‘Wali Digital’, menyebarkan pesan-pesan Islam yang damai dan inspiratif melalui berbagai platform.”
Tepuk tangan membahana di tengah pertemuan itu. Fajar tersenyum lebar, teringat perjalanan virtualnya dengan Ibnu Battuta. “Terima kasih, Ibnu Battuta,” bisiknya dalam hati. “Berkat Anda, kami sekarang mengerti bahwa menjadi Muslim Indonesia adalah tentang menjembatani masa lalu dan masa depan, tradisi dan modernitas, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam yang universal.”
Malam itu, tagar #JejakDigitalWaliSongo menjadi trending topic nomor satu di Twitter. Fajar dan teman-temannya tahu, ini baru awal dari petualangan mereka sebagai generasi muda Muslim Indonesia yang bangga akan sejarahnya dan siap menghadapi tantangan masa depan.