Ilustrasi berwarna dari sebuah masjid dengan kubah besar di atasnya. Masjid ini memiliki arsitektur tradisional dengan detail rumit, termasuk serangkaian lengkungan di pintu masuk yang didukung oleh tiang-tiang. Di sekeliling masjid terdapat pagar rendah. Di latar depan, terlihat beberapa orang dan anak-anak yang sedang berkumpul, menunjukkan suasana yang ramai. Langit di atas masjid dipenuhi awan, menambah kesan dramatis pada gambar.

Kilau Mutiara Tersembunyi

Cerpen & Sastra Materi Pembelajaran
Butuh waktu sekitar 12 menit untuk membaca tulisan ini

Zahra menatap bayangannya di cermin, jemarinya menyusuri ujung kerudung berwarna pastel yang baru saja dia kenakan. Sebuah helaan napas lolos dari bibirnya. Hari ini adalah hari pertama semester baru di SMA Nusantara, dan seperti biasa, perutnya terasa melilit oleh kecemasan.

“Zahra, kamu sudah siap? Nanti terlambat lho,” suara ibunya terdengar dari lantai bawah.

“Iya, Bu. Sebentar lagi,” jawab Zahra, suaranya sedikit bergetar.

Zahra menyambar tasnya dan bergegas turun. Di meja makan, ayahnya sedang membaca koran pagi sambil menyesap kopi.

“Assalamualaikum, Yah,” sapa Zahra pelan.

“Waalaikumsalam, Zahra,” ayahnya menurunkan korannya dan tersenyum. “Sudah siap untuk hari pertama?”

Zahra hanya mengangguk lemah, tidak yakin harus menjawab apa. Bagaimana dia bisa siap menghadapi tatapan-tatapan sinis dan bisikan-bisikan di belakangnya?

“Ingat kata Ayah, Zahra,” ujar ayahnya lembut. “Kamu itu seperti mutiara. Mungkin tidak semua orang bisa melihat kilauanmu, tapi itu tidak mengurangi nilaimu.”

Zahra tersenyum tipis. Dia tahu ayahnya bermaksud baik, tapi kata-kata itu tidak bisa menghapus bayangan Karina dan gengnya yang selalu memandang rendah Zahra karena penampilannya yang mereka anggap “kurang gaul”.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, Zahra terus memikirkan cara untuk bisa ‘membaur’ tanpa harus kehilangan jati dirinya. Namun, setiap ide yang muncul selalu berakhir dengan bayangan tawa mengejek teman-temannya.

Bel sekolah berbunyi tepat ketika Zahra melangkahkan kaki di gerbang SMA Nusantara. Dia bergegas ke kelas, berusaha tidak menarik perhatian. Namun, seperti magnet yang menarik serpihan besi, mata-mata penuh penilaian seolah tertarik padanya.

“Eh lihat, si culun sudah datang,” bisik seseorang, cukup keras untuk didengar Zahra.

“Ssst… kasihan dia. Mungkin di rumahnya nggak ada cermin kali,” sahut yang lain, diikuti tawa tertahan.

Zahra menundukkan kepalanya, berusaha mengabaikan komentar-komentar menyakitkan itu. Dia duduk di kursinya yang berada di pojok belakang kelas, tempat yang selama ini menjadi ‘zona aman’-nya.

Pak Hadi, guru Sejarah mereka, masuk ke kelas dengan senyum lebar. “Selamat pagi, anak-anak! Siap untuk petualangan baru di semester ini?”

Kelas menjawab dengan berbagai tingkat antusiasme, sementara Zahra hanya bergumam pelan.

“Baiklah, kita akan memulai semester ini dengan proyek yang sangat menarik,” Pak Hadi melanjutkan. “Kalian akan bekerja dalam kelompok untuk mempelajari tiga kerajaan Islam besar di Jawa: Demak, Banten, dan Mataram Islam.”

Suara keluhan dan gumaman protes langsung terdengar di seluruh kelas. Zahra, di sisi lain, merasakan secercah ketertarikan. Dia selalu menyukai sejarah, terutama tentang kerajaan-kerajaan Islam. Itu mengingatkannya pada cerita-cerita kakeknya yang tinggal di dekat Masjid Agung Demak.

“Tenang, tenang,” Pak Hadi mengangkat tangannya. “Ini bukan sekadar tugas mencatat. Kalian akan menggali lebih dalam tentang bagaimana kerajaan-kerajaan ini membentuk identitas kita sebagai bangsa, dan bagaimana nilai-nilai mereka masih relevan hingga hari ini.”

Zahra merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Ini adalah kesempatan untuk menggali lebih dalam tentang sejarah yang selama ini hanya dia dengar dari kakeknya.

“Saya akan membagi kalian ke dalam kelompok,” lanjut Pak Hadi, mulai membacakan nama-nama.

Zahra menahan napas, berharap akan dipasangkan dengan teman-teman yang setidaknya tidak mengejeknya. Namun, harapan itu pupus ketika dia mendengar namanya disebut bersama…

“Zahra, Andi, dan Lina.”

Zahra merasakan dunianya seolah runtuh. Andi, si populer yang selalu dikelilingi teman-teman gaul, dan Lina, si juara kelas yang terkenal perfeksionis. Bagaimana mungkin dia bisa bekerja sama dengan mereka?

Ketika kelas dibubarkan untuk berkumpul dengan kelompok masing-masing, Zahra tetap terpaku di kursinya. Dia melihat Andi dan Lina berjalan ke arahnya, ekspresi mereka sulit dibaca.

“Jadi,” Andi memulai, nadanya datar. “Kita sekelompok.”

Lina mengangguk, matanya menyipit seolah sedang menilai Zahra. “Kamu tahu sesuatu tentang kerajaan-kerajaan ini?”

Zahra membuka mulutnya, tapi tidak ada suara yang keluar. Inilah kesempatannya untuk menunjukkan bahwa dia lebih dari sekadar ‘si culun’, bahwa dia memiliki pengetahuan dan passion. Tapi ketakutan dan keraguan mencengkeram tenggorokannya, membuatnya hanya bisa mengangguk lemah.

“Oke,” kata Lina, nada bicaranya profesional. “Kita harus mulai riset secepatnya. Aku akan membuat jadwal dan membagi tugas.”

Zahra ingin mengatakan bahwa kakeknya bisa menjadi sumber informasi yang berharga, bahwa dia punya buku-buku tentang sejarah kerajaan Islam di rumah. Tapi lagi-lagi, dia hanya bisa mengangguk.

Ketika bel istirahat berbunyi, Zahra bergegas keluar kelas, mencari udara segar. Dia berdiri di bawah pohon rindang di halaman sekolah, pikirannya berkecamuk.

“Bagaimana aku bisa menunjukkan diriku yang sebenarnya jika aku bahkan tidak berani berbicara?” gumamnya pada diri sendiri.

Zahra memejamkan mata, mengingat kata-kata ayahnya tentang mutiara. Mungkin ini saatnya dia mulai percaya bahwa dia memang memiliki kilau itu. Mungkin, melalui proyek ini, dia bisa menemukan suaranya dan menunjukkan pada dunia – dan pada dirinya sendiri – bahwa dia lebih dari sekadar label yang diberikan orang lain.

Dengan tekad baru, Zahra membuka matanya. Semester ini akan menjadi perjalanan penemuan diri, sebuah eksplorasi tidak hanya tentang sejarah kerajaan Islam, tapi juga tentang kekuatan yang selama ini terpendam dalam dirinya.

Langkah pertama: dia akan mengajak Andi dan Lina mengunjungi kakeknya di Demak. Mungkin, dengan berdiri di tengah-tengah sejarah, mereka semua bisa belajar sesuatu – tidak hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang diri mereka sendiri.

*****

Zahra menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu rumah kakeknya yang bercat putih pudar. Aroma khas kampung halaman — perpaduan antara tanah basah dan bunga melati — menyambutnya, membawa serta kenangan-kenangan manis masa kecil.

“Assalamualaikum,” ucap Zahra, suaranya sedikit bergetar.

Pintu terbuka, menampilkan sosok kakeknya yang masih tegap meski usia telah menginjak 70 tahun. “Waalaikumsalam, Zahra-ku!” seru Kakek dengan senyum lebar. Matanya kemudian beralih ke dua remaja di belakang Zahra. “Dan ini pasti teman-temanmu?”

Zahra mengangguk, “Iya, Kek. Ini Andi dan Lina. Kami… kami datang untuk tugas sekolah tentang Kerajaan Demak.”

Baca juga :  Umar bin Khattab: Bukti Benci Bisa Jadi Cinta

Andi dan Lina memberi salam dengan sopan, meski Zahra bisa melihat tatapan bingung di mata mereka. Mungkin mereka tidak menyangka ‘si culun’ Zahra memiliki koneksi langsung dengan sejarah yang mereka pelajari.

Kakek mempersilakan mereka masuk dan duduk di ruang tamu yang sederhana namun nyaman. Di dinding, terpajang beberapa foto tua Masjid Agung Demak dan potret-potret para wali.

“Jadi,” Kakek memulai, matanya berbinar, “kalian ingin tahu tentang Kerajaan Demak?”

Lina, si juara kelas, langsung mengeluarkan buku catatannya. “Iya, Kek. Kami ingin tahu lebih banyak tentang pendiriannya, terutama peran Raden Patah.”

Kakek tersenyum, “Ah, Raden Patah. Nama aslinya Jin Bun, putra Raja Majapahit dengan putri Cina. Tapi itu hanya awal dari cerita yang luar biasa.”

Zahra merasakan atmosfer ruangan berubah. Bahkan Andi yang biasanya cuek terlihat tertarik.

“Bayangkan,” lanjut Kakek, “seorang pangeran muda yang tumbuh besar di lingkungan pesantren, dididik oleh Sunan Ampel. Dia bukan hanya belajar agama, tapi juga strategi dan kepemimpinan.”

“Seperti sekolah berasrama modern?” tanya Andi, mengejutkan Zahra dengan ketertarikannya.

Kakek tertawa kecil, “Bisa dibilang begitu, Nak. Tapi dengan misi yang jauh lebih besar — menyebarkan ajaran Islam sambil membangun peradaban baru.”

Lina mencatat dengan cepat, “Lalu bagaimana dia bisa mendirikan Kerajaan Demak?”

“Itu kisah panjang penuh strategi dan kebijaksanaan,” jawab Kakek. “Raden Patah tidak hanya mengandalkan kekuatan, tapi juga diplomasi. Dia berhasil menyatukan para wali, mendapatkan dukungan rakyat, dan akhirnya mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa pada tahun 1475.”

Zahra, yang selama ini hanya mendengar cerita-cerita ini sebagai dongeng pengantar tidur, mulai melihatnya dalam perspektif baru. Ini bukan sekadar sejarah kuno, tapi kisah tentang perubahan, tentang seseorang yang berani bermimpi besar.

“Dan Masjid Agung Demak?” tanya Zahra, suaranya lebih percaya diri dari biasanya.

Mata Kakek berbinar, “Ah, itu adalah simbol persatuan, Zahra. Dibangun oleh Walisongo, setiap tiang utamanya dibuat oleh seorang wali. Tapi tahukah kalian? Satu tiang — yang konon dibuat oleh Sunan Kalijaga — terbuat dari tatal, atau serpihan kayu yang disatukan.”

“Maksudnya, Kek?” Andi bertanya, dahinya berkerut.

“Itu melambangkan persatuan, Nak. Bahwa hal-hal kecil yang dianggap tidak berguna, ketika disatukan dengan tekad dan iman, bisa menjadi sesuatu yang kokoh dan abadi.”

Zahra merasakan sesuatu bergetar dalam dirinya. Bukankah dia selama ini merasa seperti serpihan kayu itu? Tidak berharga, tidak diperhitungkan. Tapi mungkin…

“Kerajaan Demak,” lanjut Kakek, “bukan hanya tentang kekuasaan. Ini tentang bagaimana Islam membawa perubahan, bagaimana nilai-nilai seperti kebijaksanaan, toleransi, dan persatuan bisa membangun peradaban.”

Lina mengangkat tangannya, “Tapi Kek, bukankah Kerajaan Demak akhirnya runtuh?”

Kakek mengangguk, “Benar. Tapi pengaruhnya tidak pernah hilang. Nilai-nilai yang ditanamkan, semangat persatuan, dan ajaran Islam yang disebarkan, tetap hidup hingga hari ini.”

Sore itu berlalu dengan cepat. Kakek bercerita tentang strategi Raden Patah, peran Walisongo, hingga legenda-legenda seputar Masjid Agung Demak. Zahra melihat bagaimana Andi dan Lina terpesona, bagaimana mereka mulai melihat sejarah bukan sebagai hafalan tahun dan nama, tapi sebagai kisah inspiratif yang masih relevan.

Ketika mereka pamit pulang, Zahra merasa ada yang berbeda. Bukan hanya karena catatan Lina yang penuh atau pertanyaan-pertanyaan antusias Andi. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.

“Terima kasih, Zahra,” ujar Lina tulus. “Ini… benar-benar membantu tugas kita.”

Andi mengangguk setuju, “Yeah, kakekmu keren. Aku tidak pernah menyangka sejarah bisa semenarik ini.”

Zahra tersenyum, untuk pertama kalinya merasa benar-benar dilihat oleh teman-temannya. “Sama-sama,” jawabnya pelan. “Aku senang kalian menikmatinya.”

Dalam perjalanan pulang, Zahra merenungkan kisah tiang tatal Masjid Demak. Mungkin dia, seperti serpihan kayu itu, memiliki potensi yang belum terlihat. Mungkin dengan keberanian untuk menunjukkan diri yang sebenarnya, dia bisa menemukan kekuatannya.

Langkahnya terasa lebih ringan. Zahra tahu, ini baru awal dari perjalanannya — bukan hanya dalam proyek sejarah ini, tapi juga dalam menemukan dan menerima dirinya sendiri.

*****

Minggu-minggu berikutnya berlalu dengan cepat. Zahra, Andi, dan Lina kini sering berkumpul di perpustakaan sekolah, meneliti tentang Kesultanan Banten. Perpustakaan yang biasanya menjadi tempat ‘persembunyian’ Zahra, kini terasa berbeda — lebih hidup, lebih bersahabat.

Sore itu, mereka duduk mengelilingi meja, dikelilingi tumpukan buku dan laptop yang menyala. Lina sibuk mengetik, sementara Andi membolak-balik halaman sebuah buku tua.

“Guys, coba lihat ini,” Andi tiba-tiba bersuara, nadanya penuh semangat. “Sultan Maulana Hasanuddin itu ternyata punya nama asli Pangeran Sabakingking. Keren ya namanya?”

Lina mengangkat alisnya, “Sabakingking? Kedengarannya seperti nama superhero lokal.”

Mereka tertawa, bahkan Zahra tidak bisa menahan senyumnya. Ada kehangatan yang mulai tumbuh di antara mereka, sesuatu yang tidak pernah Zahra bayangkan sebelumnya.

“Tapi serius,” Andi melanjutkan, “orang ini benar-benar visioner. Dia mengubah Banten dari kerajaan kecil menjadi kesultanan yang kuat dan pusat perdagangan penting.”

Zahra, yang selama ini lebih banyak diam, memberanikan diri untuk berbicara. “Aku… aku baca di sini,” dia menunjuk ke layar laptopnya, “bahwa Sultan Hasanuddin tidak hanya fokus pada perdagangan, tapi juga pendidikan dan penyebaran agama Islam.”

Lina dan Andi menoleh ke arahnya, membuat jantung Zahra berdebar kencang. Namun, alih-alih tatapan meremehkan yang biasa dia terima, mereka malah terlihat tertarik.

“Benarkah?” tanya Lina. “Bisa kamu jelaskan lebih lanjut, Zahra?”

Zahra menelan ludah, berusaha menenangkan diri. “Jadi… Sultan Hasanuddin ini membangun banyak pesantren dan masjid. Dia bahkan mengundang ulama-ulama terkenal dari berbagai daerah untuk mengajar di Banten.”

“Wow,” Andi bersiul pelan. “Jadi dia tidak hanya peduli soal kekuasaan dan uang, tapi juga tentang mencerdaskan rakyatnya?”

Zahra mengangguk, merasakan kepercayaan dirinya mulai tumbuh. “Tepat sekali. Dan yang lebih menarik, Banten di bawah kepemimpinannya menjadi salah satu pusat penyebaran Islam yang penting di Nusantara.”

Lina tampak terkesan. “Zahra, ini informasi yang sangat bagus. Kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu tahu banyak tentang sejarah?”

Zahra tersenyum malu-malu. “Aku… aku hanya suka membaca. Tapi biasanya tidak ada yang tertarik mendengarkanku.”

Baca juga :  Ali bin Abi Thalib: Didesak Menggantikan Utsman

“Well, kami tertarik sekarang,” kata Andi dengan senyum hangat. “Ayo, ceritakan lebih banyak.”

Dengan dorongan dari teman-temannya, Zahra mulai bercerita tentang bagaimana Sultan Hasanuddin membangun aliansi dengan kerajaan-kerajaan sekitar, bagaimana dia membuka Banten untuk perdagangan internasional, dan bagaimana kebijakan-kebijakannya membentuk Banten menjadi kota kosmopolitan.

“Bayangkan,” kata Zahra, suaranya semakin percaya diri, “Banten pada masa itu adalah tempat di mana pedagang dari berbagai penjuru dunia bertemu. Ada orang Portugis, Belanda, Cina, Arab, bahkan dari Gujarat.”

“Seperti New York jaman dulu dong,” celetuk Andi.

Lina tertawa, “Lebih tepatnya, New York adalah Banten jaman sekarang, Andi.”

Mereka tertawa bersama, dan Zahra merasakan kehangatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya di sekolah. Untuk pertama kalinya, dia merasa diterima, dihargai bukan karena berusaha menjadi orang lain, tapi justru karena menjadi dirinya sendiri.

“Hei,” kata Lina tiba-tiba, “bagaimana kalau kita buat presentasi kita lebih interaktif? Kita bisa membuat semacam simulasi perdagangan ala Banten dulu.”

“Itu ide bagus!” Andi menyahut antusias. “Kita bisa ajak teman-teman sekelas untuk berperan sebagai pedagang dari berbagai negara.”

Zahra, yang biasanya akan merasa takut dengan ide tampil di depan umum, tiba-tiba merasakan semangatnya terbakar. “Bagaimana kalau kita juga menambahkan elemen budaya? Kita bisa menunjukkan bagaimana pertemuan berbagai budaya di Banten melahirkan kesenian dan tradisi baru.”

Lina dan Andi menatapnya dengan kagum. “Zahra, itu brilian!” seru Lina.

Sisa sore itu mereka habiskan untuk merancang presentasi mereka, dengan Zahra aktif memberikan ide dan masukan. Ketika akhirnya mereka berpisah, Zahra merasa seperti orang yang berbeda.

Dalam perjalanan pulang, Zahra tidak bisa berhenti tersenyum. Dia teringat pada Sultan Hasanuddin, seorang pemimpin yang membuka pintunya untuk dunia, yang tidak takut pada perbedaan tapi justru menjadikannya kekuatan. Mungkin, pikir Zahra, sudah waktunya dia juga membuka diri, membiarkan dunia melihat siapa dia sebenarnya.

Langkahnya ringan saat dia memasuki rumah. “Assalamualaikum,” sapanya dengan nada ceria yang membuat ibunya menoleh dengan heran.

“Waalaikumsalam,” jawab ibunya. “Kamu kelihatan senang sekali, Zahra.”

Zahra tersenyum lebar. “Iya, Bu. Hari ini… hari ini aku merasa seperti sudah membuka pelabuhan baru dalam hidupku.”

Ibunya mungkin tidak sepenuhnya mengerti, tapi dia bisa melihat perubahan positif dalam diri putrinya. Dan bagi Zahra, ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru — perjalanan untuk menemukan dan menerima dirinya sendiri, sama seperti Banten yang menemukan identitasnya sebagai pusat perdagangan dan peradaban Islam yang terbuka untuk dunia.

*****

Minggu-minggu berlalu, dan kini tiba saatnya bagi kelompok Zahra untuk menyelesaikan bagian terakhir dari proyek mereka: Kesultanan Mataram Islam. Pak Hadi, dengan senyum penuh arti, mengumumkan bahwa mereka akan melakukan kunjungan ke Keraton Yogyakarta sebagai bagian dari penelitian mereka.

Pagi itu, bus sekolah dipenuhi oleh celoteh riang para siswa. Zahra duduk di samping Lina, sementara Andi duduk di belakang mereka, sibuk dengan game di ponselnya.

“Kamu tahu,” Lina berbisik pada Zahra, “aku tidak pernah menyangka proyek sejarah bisa semenarik ini.”

Zahra tersenyum. “Aku juga. Rasanya seperti… menjelajahi waktu.”

Ketika mereka tiba di Keraton Yogyakarta, Zahra merasakan desir aneh di dadanya. Di sinilah, ratusan tahun lalu, Sultan Agung memimpin salah satu kerajaan terbesar di Pulau Jawa.

Pak Hadi membagi mereka menjadi beberapa kelompok kecil, masing-masing dengan pemandu lokal. Zahra, Andi, dan Lina mendapat seorang pemandu bernama Pak Rama, pria paruh baya dengan senyum ramah dan mata yang berbinar penuh pengetahuan.

“Selamat datang di Keraton Yogyakarta,” Pak Rama memulai. “Meskipun bangunan ini dibangun jauh setelah masa Sultan Agung, spirit Mataram Islam masih sangat terasa di sini.”

Mereka berjalan melewati gerbang-gerbang megah dan halaman-halaman luas. Pak Rama menjelaskan tentang arsitektur keraton yang penuh makna filosofis.

“Lihat struktur bangunannya,” ujar Pak Rama. “Semuanya memiliki arti. Misalnya, tata letak keraton menggambarkan perjalanan manusia dari lahir hingga bertemu dengan Sang Pencipta.”

Andi mengerutkan dahi. “Maksudnya, arsitekturnya punya makna spiritual?”

“Tepat sekali,” Pak Rama mengangguk. “Ini salah satu warisan dari masa Sultan Agung. Beliau tidak hanya seorang raja dan pejuang, tapi juga seorang filsuf dan penyair.”

Zahra, yang selama ini diam, tiba-tiba teringat sesuatu. “Pak, apa benar Sultan Agung juga menciptakan kalender Jawa?”

Pak Rama tampak terkejut dan senang. “Wah, kamu tahu banyak ya! Benar sekali. Sultan Agung menciptakan kalender Jawa dengan menggabungkan sistem penanggalan Hijriyah dan Saka. Ini menunjukkan usahanya untuk menyatukan budaya Jawa dan Islam.”

Lina dan Andi menatap Zahra dengan kagum. Zahra bisa merasakan pipinya memerah, tapi untuk pertama kalinya, dia merasa bangga, bukan malu.

Perjalanan mereka berlanjut ke museum keraton. Di sana, mereka melihat berbagai artefak dari masa Kesultanan Mataram, termasuk senjata, perhiasan, dan manuskrip kuno.

“Ini salah satu karya sastra terkenal dari masa Sultan Agung,” Pak Rama menunjuk sebuah manuskrip yang terpajang dalam kotak kaca. “Sastra Gending, sebuah karya yang menggabungkan filsafat Jawa dan ajaran Islam.”

“Jadi, Sultan Agung tidak hanya fokus pada peperangan dan politik?” tanya Lina.

“Sama sekali tidak,” jawab Pak Rama. “Beliau adalah seorang pemimpin yang multitalenta. Di masa pemerintahannya, seni dan sastra berkembang pesat. Beliau bahkan menulis beberapa kitab penting.”

Zahra merasakan ada yang bergetar dalam dirinya. Sultan Agung, seorang raja besar yang juga seorang seniman dan cendekiawan. Seseorang yang tidak takut menggabungkan berbagai elemen budaya untuk menciptakan sesuatu yang baru dan indah.

“Tapi yang paling mengesankan,” lanjut Pak Rama, “adalah bagaimana Sultan Agung berhasil menyatukan hampir seluruh Pulau Jawa. Bukan hanya melalui kekuatan militer, tapi juga melalui diplomasi dan perkawinan politik.”

“Seperti menyatukan pecahan puzzle ya, Pak?” celetuk Andi.

Pak Rama tertawa. “Analogi yang bagus! Ya, membayangkan kompleksitas politik saat itu, apa yang dilakukan Sultan Agung memang seperti menyusun puzzle raksasa.”

Ketika kunjungan mereka hampir berakhir, Pak Rama mengajak mereka ke sebuah pendopo di kompleks keraton. “Nah, sekarang giliran kalian,” ujarnya. “Apa yang bisa kalian simpulkan dari Kesultanan Mataram Islam di bawah Sultan Agung?”

Baca juga :  Masuknya Islam Ke Indonesia (SKI Fase F/Kelas XII)

Hening sejenak. Lina dan Andi menoleh ke Zahra, seolah mendorongnya untuk berbicara. Zahra menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian.

“Saya pikir,” Zahra memulai, suaranya pelan tapi mantap, “Kesultanan Mataram Islam di bawah Sultan Agung menunjukkan bahwa kekuatan sejati tidak hanya datang dari pedang, tapi juga dari pena dan kebijaksanaan. Sultan Agung berhasil membangun sebuah peradaban yang menggabungkan kekuatan militer, kedalaman spiritual, dan keindahan seni. Beliau menunjukkan bahwa perbedaan, jika dikelola dengan baik, bisa menjadi sumber kekuatan, bukan perpecahan.”

Semua orang terdiam, terpukau. Bahkan Pak Rama tampak terkesan.

“Luar biasa, Zahra,” puji Pak Rama. “Kamu telah menangkap esensi dari warisan Sultan Agung dengan sangat baik.”

Lina dan Andi tersenyum lebar, jelas bangga dengan teman mereka. Zahra merasakan sesuatu berubah dalam dirinya. Dia bukan lagi gadis pemalu yang bersembunyi di balik buku-bukunya. Dia telah menemukan suaranya, seperti Sultan Agung yang menemukan cara untuk menyatukan berbagai elemen menjadi sebuah kesatuan yang harmonis.

Dalam perjalanan pulang, Zahra memandang ke luar jendela bus, merenungkan perjalanan mereka. Dari Demak ke Banten, dan kini Mataram, dia telah belajar banyak — tidak hanya tentang sejarah, tapi juga tentang dirinya sendiri.

Mungkin, pikirnya, inilah yang dimaksud dengan menjadi “muslim moderat yang relevan dengan zamannya”. Bukan hanya tentang mengikuti arus zaman, tapi juga tentang menghargai warisan masa lalu, memetik pelajaran darinya, dan menggunakannya untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Zahra tersenyum. Dia tidak sabar untuk mulai menulis bagian akhir dari proyek mereka. Kali ini, dia tahu, suaranya akan terdengar jelas dan percaya diri, membawa pesan dari masa lalu untuk generasinya dan generasi mendatang.

*****

Hari presentasi akhirnya tiba. Aula sekolah dipenuhi oleh siswa, guru, dan bahkan beberapa orang tua yang diundang untuk menyaksikan hasil proyek sejarah ini. Zahra berdiri di belakang panggung, jantungnya berdegup kencang. Lina sibuk memeriksa slide presentasi untuk terakhir kalinya, sementara Andi mondar-mandir, berusaha menghilangkan kegugupannya.

“Kamu siap, Zahra?” tanya Lina, menatap temannya dengan senyum meyakinkan.

Zahra menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku tidak tahu. Bagaimana kalau aku lupa segalanya? Bagaimana kalau mereka menertawakanku?”

Andi berhenti mondar-mandir dan menepuk bahu Zahra. “Hey, kamu ini ahlinya. Ingat bagaimana kamu menjelaskan tentang Sultan Agung? Kamu bisa melakukannya.”

Tepuk tangan terdengar dari aula, menandakan giliran mereka sudah tiba. Zahra merasakan kakinya gemetar saat melangkah ke atas panggung. Lampu sorot menyilaukan matanya, dan dia bisa melihat ratusan wajah menatap ke arahnya.

Lina memulai presentasi dengan pengantar singkat tentang proyek mereka. Andi melanjutkan dengan penjelasan tentang Kesultanan Demak dan Banten. Ketika tiba giliran Zahra untuk berbicara tentang Mataram Islam, dia merasakan tenggorokannya kering.

“Su-Sultan Agung…” Zahra memulai, suaranya bergetar. Dia melihat ke arah penonton, dan tiba-tiba, semua kata-kata yang telah dia persiapkan lenyap dari ingatannya. Keheningan yang mencekam memenuhi ruangan.

Zahra merasakan panik mulai menguasainya. Namun, di saat itulah dia melihat senyum ayahnya di antara penonton. Dia teringat kata-kata ayahnya tentang mutiara. Dia teringat cerita kakeknya tentang tiang tatal Masjid Demak. Dia teringat Sultan Hasanuddin yang membuka Banten untuk dunia. Dan dia teringat kebijaksanaan Sultan Agung dalam menyatukan perbedaan.

Dengan satu tarikan napas dalam, Zahra memulai lagi. “Sultan Agung bukan hanya seorang raja,” katanya, kali ini dengan suara yang lebih mantap. “Dia adalah seorang visioner yang memahami bahwa kekuatan sejati datang dari persatuan dalam keberagaman.”

Kata demi kata mengalir dari mulut Zahra. Dia berbicara tentang bagaimana Sultan Agung menyatukan Jawa, tentang kalender yang menggabungkan tradisi Islam dan Jawa, tentang perkembangan seni dan sastra di bawah pemerintahannya. Tanpa disadari, Zahra telah menghidupkan kembali era keemasan Mataram Islam di atas panggung.

Ketika Zahra mengakhiri bagiannya, aula dipenuhi oleh tepuk tangan meriah. Dia melihat ke arah Lina dan Andi yang tersenyum lebar, bangga akan pencapaian teman mereka. Bahkan Karina dan gengnya, yang selama ini selalu meremehkan Zahra, tampak terkesan.

Pak Hadi berdiri dan memberikan aplaus. “Luar biasa!” serunya. “Inilah contoh bagaimana sejarah bisa menjadi relevan dan menginspirasi generasi muda.”

Setelah presentasi, banyak siswa mengerumuni Zahra, Lina, dan Andi, menanyakan lebih banyak tentang proyek mereka. Zahra, yang biasanya akan merasa tidak nyaman dengan perhatian sebesar ini, kini merasakan kepercayaan diri yang baru.

*****

Beberapa minggu setelah presentasi, Zahra duduk di bangku taman sekolah, membaca buku tentang sejarah Nusantara. Dia tidak lagi bersembunyi di pojok perpustakaan. Kini, dia merasa nyaman berada di tengah teman-temannya.

“Hei, Zahra!” panggil Lina yang baru datang bersama Andi. “Kamu tidak akan percaya ini. Pak Hadi bilang proyek kita akan dipamerkan di museum kota bulan depan!”

Zahra tersenyum lebar. “Benarkah? Itu luar biasa!”

Andi menambahkan, “Dan bukan hanya itu. Dia ingin kita membantu membuat klub ‘Genz Sejarah’ di sekolah. Katanya untuk menghubungkan generasi muda dengan warisan budaya mereka.”

Zahra merasakan gelombang kebahagiaan dan kebanggaan. Dia telah menemukan suaranya, menemukan tempatnya. Melalui perjalanan menemukan sejarah, dia juga menemukan dirinya sendiri.

“Jadi,” Zahra berkata, menutup bukunya, “kapan kita mulai?”

Mereka tertawa bersama, tiga sahabat yang disatukan oleh sejarah, siap untuk membuat sejarah mereka sendiri. Zahra tahu, ini bukan akhir, tapi awal dari sebuah petualangan baru. Sebuah petualangan untuk menjadi muslim moderat yang relevan dengan zamannya, yang menghargai masa lalu sambil merangkul masa depan.

Saat mereka berjalan bersama menuju kelas berikutnya, Zahra teringat kata-kata Sultan Agung yang dia temukan dalam penelitiannya: “Mengukir masa depan dengan pena sejarah, menyatukan perbedaan dalam harmoni kehidupan.” Dan kini, Zahra tahu, dia dan teman-temannya sedang melakukan tepat itu.

Tinggalkan Balasan