Siang yang begitu terik, nampak seorang pria berusia 60 tahun sedang mengendarai motor Revo Biru sedang fokus dengan jalur aspal yang dilaluinya. Wajah yang begitu nampak sudah letih, ditambah usia yang tidak lagi muda, memaksanya harus lebih fokus agar tidak celaka di jalan. Peluh yang membanjiri tubuh, dan perut keroncongan, menggodanya untuk menambah kecepatan agar segera tiba di rumah.
Pria tersebut bernama Pak Alif, aktifitasnya sebagai seorang pimpinan di lembaga pendidikan di sebuah desa yang cukup terpencil, membuatnya terkadang harus mengikuti rapat antara lembaga pendidikan yang diadakan di ibu kota kabupaten yang jaraknya sekitar 15 km. Usia yang tak lagi muda, tak menghalangi dedikasinya terhadap lembaga yang turut ia rintis pembangunannya.
Melewati papan nama ucapan “Selamat datang di Desa Mattiro Deceng” membuat wajah Pak Alif menjadi sedikit lebih lega, itu artinya ia tinggal 1.5 km lagi dari rumah. Saat melinhat serombongan siswa SD yang sedang bergerombol pulang sekolah, wajah cerah itu kemudian sontak sirna dan membuatnya tiba-tiba menghentikan motor tunggangannya.
Memperhatikan jalan di sekitar dan memastikan tidak ada kendaran yang mendekat, Pak Alif sontak memutar arah kendaraannya kembali menuju kota. Ia teringat anaknya Aira yang kini duduk di kelas 4 SD. Ia baru ingat kalau ada janji ke putri kecilnya akan membelikan sebuah buku cerita saat ia hendak berangkat.
Terlintas wajah putri kecil yang sedang duduk menanti kedatangannya di rumah, menghilangkan rasa lapar dan letih yang juga tadi mendorongnya segera sampai di rumah. Pak Alif memang begitu sayang kepada putri bungsunya tersebut, apalagi Airah adalah putri satu-satunya yang begitu spesial dan istimewa.
Sesampainya di kota, Pak Alif bergegas menuju sebuah toko buku yang berada di barat taman kota. Hampir 30 menit ia menjelajahi toko buku terbesar di wilayah tersebut, akhirnya ia keluar dengan tangan hampa setelah mendapatkan kepastian dari pegawai toko kalau buku yang dicarinya telah habis terjual. Tak menyerah, Pak Alif melanjutkan penjelajahannya di 3 toko buku lain, namun pencariannya berujung pada hasil yang sama.
2 jam menghabiskan waktu dari 1 toko buku ke toko buku lain, Pak Alif yang nampak semakin kusut dan letih memutuskan mengakhiri pencariannya. Setelah menyalakan motor dan memperbaiki posisi duduknya, Pak Alif mulai menulusuri jalan pulang ke rumah sambil memikirkan alasan yang nanti ia sampaikan ke Airah agar putri kecilnya tidak merasa sedih.
Melihat sebuah gerobak gorengan yang nampak ramai di pinggir jalan, Pak Alif lalu memutuskan untuk mampir untuk sekadar mengisi perut yang telah sedari tadi meronta. Membeli 2 bakwan goreng, ia rasa cukup mengatasi rasa perih yang mulai terasa menusuk-nusuk lambungnya. Sambil sekadar mengistirahatkan tubuh yang mulai dimakan usia, Pak Alif memperhatikan sudut gerobak yang ternyata menyediakan pisang molen.
Kembali terbayang wajah Airah, Pak Alif meminta tukang gorengan membungkus pisang molen seharga 10 ribu. Ia berharap, penganan pisang berbalut tepung krispi itu bisa sedikit membayar kekecewaan putri kecilnya yang memang suka dengan pisang molen. Sambil menunggu tukang gorengan menyelesaikan pesananya, Pak Alif dikejutkan dengan pria berkemeja putih yang menyapanya dari belakang.
“eh Pak Ridwan, baru pulang kantor pak?” ujar Pak Alif membalas sapaan pria berkemeja putih.
“Iya nih pak, tadi saya mampir konsultasi ke ruangannya pak Kasih.”
Kedua pria tersebut kemudian melanjutkan pembicaraan ringan mengenai pekerjaan masing-masing. Saat hendak berpamitan, Pak Alif melihat sebuah buku yang masih tersegel rapi dan terbungkus kantung plastik putih yang diletakkan Pak Ridwan di samping tempat duduknya.
“Wah habis beli buku baru pak?” selidik Pak Alif sambil menunjuk benda yang memancing rasa penasarannya.
“Iya pak, tadi waktu mau pulang, saya lihat pedagang buku asongan di depan kantor, karena kasian, saya beli satu,” tukas Pak Ridwan menerangkan.
Setelah memperoleh informasi dari Pak Ridwan, Pak Alif segera menyelesaikan transaksinya dengan penjual gorengan. Berharap bisa menemukan apa yang ia cari, , kembali Pak Alif memacu Revo Birunya untuk ketiga kalinya di hari itu menelusuri keramaian kota.
Tiba di titik yang diinformasikan Pak Ridwan, Pak Alif langsung menuju sebuah kios kecil yang nampak menjual beberapa buku. Namun kenyataan tetap tak sesuai harapan, buku yang diminta Airah tetap tidak ada. Meskipun berat, akhirnya Pak Alif memutuskan pulang dan berharap pisang molen yang dibelinya bisa sedikit mengobati kekecewaan Airah.
Tak jauh dari kios buku tadi, Pak Alif melihat kerumunan kecil didepan sebuah rumah bercat hijau. Nampak seorang pedagang asongan sedang bertransaksi dengan beberapa pembeli di sekitarnya. Pak Alif baru teringat, kalau Pak Ridwan tadi menyebut pedagang asongan bukan kios buku. Melihat barang dagangan si penjual asongan yang ala kadarnya, Pak Alif ragu untuk menghampiri. Dorongan ingin segera sampai rumah, dan takut gorengan yang dibelinya dingin, Pak Alif hendak memutar gas untuk melaju.
Belum sempat menambah kecepatan, Pak Alif harus berhenti karena lampu lalu lintas yang tadi tak ia perhatikan telah berwarna merah. Berhenti di dekat pedagang asongan yang tadi dilihatnya, Pak Alif merasa tidak rugi bertanya sambil menunggu lampu lalu lintas hijau.
Gagal menemukan buku yang dicari di toko buku dan kios yang telah ia jelajahi, ditambah jumlah dagangan yang tak seberapa, membuat Pak Alif tak menaruh harapan besar. Iapun kemudian menghentikan sejenak motornya, lalu bertanya.
“Mas ada bukunya Langit Bercerita?”
“Wah sepertinya sudah habis pak, soalnya memang banyak yang nyari,” jawab si pedagang yang sepertinya juga sudah hendak pulang.
Dengan helaan nafas Pak Alif kembali menyalakan motornya dan melihat lampu lalu lintas ternyata sudah hijau. Saat sebelum memutar gas, Pak Alif dikagetkan oleh teriakan si pedagang asongan yang berusaha memanggilnya. Saat ia berbalik, nampak olehnya sebuah buku bersampul biru bertuliskan “Langit Bercerita.”
“Maaf pak, ini masih ada satu pak, tadi waktu saya beres-beres barang, ketemu terselip di antara buku lain,” ujar si pedagang asongan.
Tanpa tawar menawar, Pak Alif langsung membayar buku itu dan langsung memacu motornya pulang ke rumah. Betapa bahagianya perasaan Pak Alif sore itu, akhirnya pencariannya tidak sia-sia, dan ia bisa membawa pulang buku dan pisang molen kesukaan putri spesialnya.
Sampai di rumah, Pak Alif melihat putrinya sedang duduk di bawah pohon mangga di halaman rumahnya. Saat melihat ayahnya pulang membawa bungkusan plastik, Airah nampak bahagia dan ingin segera memeluk ayahnya. Menyadari keinginan putrinya tersebut, Pak Alif segera memakirkan motor dan berjalan menghampiri Airah.
Saat menerima bungkusan plastik, Airah nampak begitu sangat senang, karena tak hanya buku titipannya yang ada, pisang molen juga dibelikan sang ayah.
“Ayo kita masuk rah, kamu baca buku sama makan molennya didalam saja,” ajak Pak Alif yang kemudian disusul anggukan Airah.
Pak Alif kemudian membantu Airah untuk masuk ke rumah dengan mendorong kursi rodanya. Bagi Pak Alif, meskipun Airah memiliki hambatan gerak, Airah tetap putri spesialnya. Ia selalu mengajarkan pada Airah, bersahabatlah dengan buku, karena buku adalah jendela yang memberikan kesempatan mengintip dan menjelajahi isi dunia. Itulah mengapa, Pak Alif tak pernah menolak jika Airah meminta sebuah buku.