▶︎ Lihat Identitas Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran ini disusun untuk mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang diperuntukkan bagi peserta didik Fase F (Kelas XII) pada Semester Ganjil. Materi ini merupakan bagian dari elemen pembelajaran mengenai Periode Islam di Nusantara, yang dikembangkan sesuai dengan kurikulum yang berlaku di MAN 2 Probolinggo.
Sesuai dengan capaian pembelajaran, materi ini bertujuan agar peserta didik dapat memahami proses awal masuknya Islam, sejarah kerajaan, serta peran Wali Songo sebagai inspirasi Muslim moderat. Secara spesifik, tujuan pembelajaran dari sesi berjudul “Kondisi Sosial-Budaya dan Keagamaan Nusantara Pra-Islam” ini adalah agar peserta didik mampu mengidentifikasi titik temu antara nilai luhur pra-Islam dengan ajaran Islam sebagai landasan dakwah yang moderat. Alokasi waktu yang disediakan untuk penyampaian materi ini adalah 2 x 45 menit.
▼ Materi: Kondisi Sosial-Budaya dan Keagamaan Nusantara Pra-Islam
Menelusuri Wajah Asli Nusantara: Akar Kearifan Pra-Islam
Selamat datang di perjalanan menakjubkan untuk mengenali akar dan jati diri bangsa kita. Sebelum kita membahas indahnya Islam yang mekar di bumi Nusantara, mari kita sejenak menjadi seorang penjelajah waktu. Kita akan kembali ke masa lampau, untuk melihat “wajah asli” Nusantara—sebuah potret masyarakat dengan kearifan, kepercayaan, dan tatanan sosial yang unik, yang kelak menjadi ladang subur bagi benih-benih dakwah Islam.
Memahami kondisi ini bukan sekadar belajar sejarah, tetapi ini adalah kunci untuk mengerti mengapa Islam di Indonesia memiliki corak yang begitu damai, santun, dan mampu menyatu dengan budaya lokal. Ini adalah bagian dari upaya kita menumbuhkan Cinta Tanah Air, dengan mengenali betapa hebatnya peradaban para leluhur kita.
Bayangkan Nusantara di masa lampau sebagai sebuah mozaik raksasa yang penuh warna. Setiap kepingan mozaik adalah kelompok masyarakat dengan sistem kepercayaan dan budayanya masing-masing. Sebelum agama Hindu dan Buddha datang, mayoritas leluhur kita menganut kepercayaan asli yang sangat dekat dengan alam.
A. Roh Leluhur dan Kekuatan Alam (Animisme & Dinamisme)
Jauh di lubuk hati masyarakat Nusantara, ada sebuah keyakinan mendasar bahwa alam semesta ini “hidup” dan “berjiwa”.
- Animisme: Ini adalah kepercayaan bahwa setiap benda di alam, baik itu pohon beringin yang rindang, gunung yang menjulang tinggi, atau batu besar di tepi sungai, memiliki roh atau jiwa yang harus dihormati. Roh ini bisa memberi berkah jika diperlakukan dengan baik, atau mendatangkan musibah jika diabaikan.
- Dinamisme: Kepercayaan ini sedikit berbeda. Masyarakat meyakini adanya kekuatan gaib atau energi misterius pada benda-benda tertentu. Sebuah keris pusaka, batu akik, atau jimat diyakini memiliki “tuah” atau kekuatan magis yang bisa melindungi pemiliknya.
Kedua kepercayaan ini mengajarkan satu hal penting: manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasa alam. Mereka hidup harmonis, menjaga keseimbangan, dan menghormati setiap elemen di sekitar mereka. Sebuah kearifan ekologis yang luar biasa!
B. Pengaruh Hindu-Buddha: Lahirnya Kerajaan dan Stratifikasi Sosial
Sekitar abad ke-4 Masehi, datanglah para pedagang dan agamawan dari India yang membawa serta ajaran Hindu dan Buddha. Pengaruh ini tidak menghapus kepercayaan lama, melainkan berakulturasi, menciptakan sebuah warna baru yang unik.
- Konsep Raja dan Kerajaan: Ajaran Hindu memperkenalkan konsep Dewa-Raja, di mana raja dianggap sebagai titisan dewa di bumi. Hal ini melahirkan sistem kerajaan besar seperti Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, dan Majapahit.
- Struktur Sosial (Kasta): Ajaran Hindu juga membawa sistem kasta (Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra). Namun, uniknya di Nusantara, sistem ini tidak seketat di India dan lebih berfungsi sebagai pembagian peran profesional di masyarakat.
- Karya Seni dan Sastra: Pengaruh ini melahirkan mahakarya peradaban seperti Candi Borobudur dan Prambanan. Kitab-kitab sastra seperti Negarakertagama dan Sutasoma lahir, bahkan memuat semboyan negara kita: Bhinneka Tunggal Ika.
Jembatan Dakwah: Titik Temu Kearifan Lokal dan Ajaran Islam
Ketika para dai pertama kali menyebarkan Islam, mereka datang ke sebuah masyarakat yang sudah memiliki nilai-nilai luhur. Para pendakwah bijak ini tidak memberantas budaya tersebut, melainkan mencari titik temu (common ground). Inilah wujud nyata dari Cinta Sesama Manusia.
- Konsep Ketuhanan: Masyarakat Nusantara sudah mengenal konsep “Yang Maha Kuasa” seperti Hyang Widhi. Ini menjadi pintu masuk yang mudah untuk memperkenalkan konsep Tauhid dalam Islam.
- Tradisi Gotong Royong: Nilai kebersamaan ini sangat selaras dengan ajaran Islam tentang Ta’awun (tolong-menolong) dan Ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan).
- Musyawarah untuk Mufakat: Tradisi ini bertemu dengan indahnya konsep Syura dalam Islam, yang sangat dianjurkan oleh Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
- Penghormatan kepada Guru dan Orang Tua: Budaya ini bertemu dengan ajaran Islam tentang Birrul Walidain (berbakti kepada orang tua) dan kewajiban memuliakan ulama.
Dengan pendekatan inilah, Islam diterima dengan tangan terbuka. Dakwah dilakukan dengan hikmah, dialog, dan penghormatan.
Refleksi untuk Masa Kini: Merawat DNA Toleransi Bangsa
Mempelajari sejarah pra-Islam Nusantara adalah cara kita bercermin. DNA bangsa kita adalah DNA yang toleran, dialogis, dan punya spiritualitas yang mendalam.
- Menumbuhkan Cinta Tanah Air: Dengan mengetahui akar sejarah ini, kita semakin sadar bahwa Bhinneka Tunggal Ika bukan slogan kemarin sore, melainkan warisan kearifan ribuan tahun.
- Meneguhkan Cinta Sesama Manusia: Sejarah ini mengajarkan bahwa dakwah yang efektif adalah yang merangkul, bukan memukul. Inilah esensi dari Islam Wasathiyah (Islam Moderat) dan Rahmatan lil ‘Alamin.
Sebagai generasi penerus, kalian memegang obor estafet peradaban ini. Dengan memahami masa lalu, kalian akan lebih bijak dalam melangkah ke masa depan, menjadi duta Islam yang ramah, dan terus merajut persatuan dalam bingkai keindonesiaan.