Matahari Madinah mulai tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan. Fatima, gadis berusia 16 tahun dari suku Khazraj, berjalan menyusuri jalan setapak di antara kebun kurma yang rimbun. Udara terasa sejuk di ketinggian 620 meter di atas permukaan laut ini, jauh berbeda dengan panasnya siang hari yang bisa mencapai 35°C.
“Fatima! Tunggu aku!” sebuah suara memanggilnya dari belakang.
Fatima menoleh dan tersenyum melihat sahabatnya, Leah, berlari-lari kecil mengejarnya. Leah adalah gadis Yahudi seusianya dari komunitas Banu Nadir.
“Ayo cepat, Leah! Kita bisa terlambat ke pasar!” seru Fatima sambil melambai.
Kedua gadis itu berjalan beriringan, melewati lembah subur yang dialiri mata air melimpah. Di kejauhan, mereka bisa melihat puncak Gunung Uhud yang menjulang di utara kota.
“Bagaimana persiapan perayaan panen kurma di keluargamu, Fatima?” tanya Leah.
“Oh, sangat sibuk! Ibu dan bibi-bibiku sudah mulai mempersiapkan hidangan sejak kemarin. Kau harus datang dan mencicipi kue kurma buatan ibuku, Leah. Rasanya luar biasa!”
Leah tersenyum lebar. “Tentu saja aku akan datang. Aku tak sabar menunggu festival itu setiap tahun. Ngomong-ngomong, ayahku baru saja menyelesaikan beberapa perhiasan baru. Dia ingin aku membawanya ke kios Paman Ismail di pasar.”
Saat mereka mendekati pasar, keramaian mulai terdengar. Pasar Madinah adalah pusat aktivitas ekonomi kota, tempat berbagai komunitas bertemu dan berinteraksi. Pedagang dari suku-suku Arab, komunitas Yahudi, dan bahkan beberapa pedagang Kristen dari Suriah berbaur dalam hiruk-pikuk perdagangan.
Tiba-tiba, keributan pecah di salah satu sudut pasar. Fatima dan Leah saling berpandangan dengan cemas sebelum mempercepat langkah mereka untuk melihat apa yang terjadi.
Di tengah pasar, mereka melihat sekelompok pemuda dari suku Aus dan Khazraj yang terlibat pertengkaran sengit. Tampaknya perselisihan dimulai karena kesalahpahaman kecil dalam transaksi, namun dengan cepat memicu sentimen kesukuan yang sudah lama memendam.
“Kalian Khazraj selalu merasa lebih unggul!” teriak salah satu pemuda Aus.
“Dan kalian Aus tidak lebih dari pengecut yang bersembunyi di balik kekayaan!” balas seorang pemuda Khazraj.
Beberapa pedagang berusaha melerai, namun situasi semakin memanas. Fatima merasakan kekhawatiran yang mendalam. Sebagai anggota suku Khazraj, dia tahu betul betapa mudahnya konflik seperti ini bisa meledak menjadi pertikaian yang lebih besar.
“Oh tidak, mereka mulai lagi,” gumam Fatima sedih. “Mengapa kita tidak bisa hidup berdamai?”
Leah, yang berasal dari komunitas Yahudi dan tidak terlibat langsung dalam perselisihan Aus-Khazraj, menarik tangan Fatima. “Ayo, kita cari jalan lain ke kios Paman Ismail. Aku tidak ingin kita terjebak dalam kekacauan ini.”
Mereka bergegas memutar, menghindari kerumunan yang semakin ramai. Dalam perjalanan, mereka melewati sebuah madrasah Yahudi, di mana terdengar lantunan ayat-ayat Taurat.
“Itu sekolah tempat adikku belajar,” kata Leah. “Dia sangat antusias mempelajari Kitab Suci dan ilmu pengetahuan di sana.”
Fatima mengangguk penuh minat. “Aku selalu kagum dengan tradisi pembelajaran kalian. Kami orang Arab lebih banyak mengandalkan tradisi lisan untuk mewariskan pengetahuan.”
Mereka akhirnya tiba di sebuah kios kecil di sudut pasar, di mana Ismail, seorang pedagang paruh baya yang dihormati oleh berbagai komunitas di Madinah, menyambut mereka dengan senyum ramah.
“Ah, Fatima dan Leah! Kalian datang tepat waktu. Barang daganganku sudah hampir habis hari ini,” sapa Ismail.
Fatima menyerahkan keranjang kurmanya. “Ini kiriman dari ayah, Paman. Kurma terbaik dari kebun kami.”
Ismail mengangguk puas. “Seperti biasa, kualitasnya selalu bisa diandalkan. Madinah memang terkenal dengan kurma terbaiknya. Dan kau, Leah? Apa yang kau bawa hari ini?”
Leah mengeluarkan beberapa kalung dan gelang indah dari tasnya. “Ayah baru saja menyelesaikan pesanan ini. Dia berharap Paman bisa memajangnya di kios.”
“Tentu saja! Perhiasan buatan ayahmu selalu laku keras. Banu Qainuqa memang terkenal dengan keahlian mereka dalam pertukangan dan perhiasan,” puji Ismail.
Saat Ismail sibuk menata barang dagangan baru, Fatima dan Leah duduk di bangku kayu di depan kios. Mereka memandang ke arah kerumunan yang mulai bubar di tengah pasar.
“Aku berharap suatu hari nanti perdamaian bisa tercipta di kota kita,” ucap Fatima pelan. “Rasanya menyedihkan melihat pertengkaran terus terjadi seperti ini. Bahkan pemimpin-pemimpin suku kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini.”
Leah mengangguk setuju. “Ya, aku juga berharap begitu. Tapi bukankah indah, Fatima? Di tengah semua perbedaan dan konflik ini, persahabatan kita tetap bertahan. Mungkin kita bisa menjadi contoh bahwa perbedaan suku dan agama tidak harus menjadi penghalang.”
Fatima tersenyum hangat. “Kau benar, Leah. Mungkin dari persahabatan-persahabatan kecil seperti ini, suatu hari nanti kedamaian yang lebih besar bisa tercipta di Madinah.”
Saat itu, terdengar alunan syair dari kejauhan. Seorang penyair Arab sedang membawakan puisi epik tentang kepahlawanan dan peperangan di salah satu sudut pasar, menarik perhatian banyak orang.
“Oh, itu pasti Abu Qais ibn Abi Anas!” seru Fatima. “Dia salah satu penyair terbaik di kota kita, dan kudengar dia juga seorang hanif.”
“Hanif?” tanya Leah penasaran.
“Ya, mereka adalah orang-orang yang menolak penyembahan berhala dan mencari ‘agama yang benar’. Mereka berusaha mengikuti ajaran Nabi Ibrahim,” jelas Fatima.
Leah terlihat tertarik. “Sungguh menarik. Di tengah banyaknya kepercayaan di kota kita, selalu ada orang-orang yang mencari kebenaran lebih dalam.”
Matahari telah sepenuhnya tenggelam, dan lentera-lentera mulai dinyalakan di sepanjang jalan pasar. Udara malam membawa aroma rempah-rempah dan bunga-bungaan, bercampur dengan wangi dupa dari kuil-kuil pagan di kejauhan.
Tiba-tiba, terdengar suara lonceng dari arah pemukiman Kristen di ujung kota. “Ah, itu pasti panggilan doa malam untuk komunitas Kristen,” kata Leah. “Kau tahu, Fatima? Meskipun jumlah mereka tidak banyak, kehadiran mereka menambah keragaman kota kita.”
Fatima mengangguk. “Ya, dan aku dengar beberapa konsep dari ajaran mereka mulai diadopsi oleh sebagian orang Arab, meskipun tidak sepenuhnya memeluk agama tersebut.”
Saat mereka berbincang, seorang pria tua berjubah putih berjalan melewati kios Ismail. Dia berhenti sejenak, memandang Fatima dan Leah dengan tatapan bijak.
“Selamat malam, Paman Abu Amir,” sapa Fatima sopan.
Abu Amir, yang dikenal sebagai ar-Rahib atau ‘sang rahib’, tersenyum pada kedua gadis itu. “Selamat malam, anak-anakku. Sungguh menyenangkan melihat persahabatan kalian. Ingatlah selalu, dalam keragaman terdapat kekuatan, dan dalam perbedaan terdapat kesempatan untuk belajar.”
Setelah Abu Amir berlalu, Fatima dan Leah terdiam, merenungkan kata-kata bijak yang baru saja mereka dengar.
“Fatima,” kata Leah pelan, “menurutmu, akankah Madinah suatu hari nanti bisa menjadi kota yang benar-benar bersatu? Di mana semua suku dan agama bisa hidup berdampingan dengan damai?”
Fatima memandang jauh ke arah langit malam yang bertaburan bintang. “Aku tidak tahu, Leah. Tapi aku berharap demikian. Mungkin suatu hari nanti akan datang seseorang yang bisa mempersatukan kita semua, membawa perdamaian ke tanah kita yang indah ini.”
Kedua sahabat itu duduk bersama, menikmati keindahan malam Madinah. Di tengah keragaman kota oasis ini, persahabatan mereka menjadi simbol harapan akan masa depan yang lebih cerah, di mana perbedaan tidak lagi menjadi pemisah, tetapi justru memperkaya kehidupan bersama.