Ilustrasi berwarna dari sebuah masjid dengan kubah besar di atasnya. Masjid ini memiliki arsitektur tradisional dengan detail rumit, termasuk serangkaian lengkungan di pintu masuk yang didukung oleh tiang-tiang. Di sekeliling masjid terdapat pagar rendah. Di latar depan, terlihat beberapa orang dan anak-anak yang sedang berkumpul, menunjukkan suasana yang ramai. Langit di atas masjid dipenuhi awan, menambah kesan dramatis pada gambar.

Museum Dua Zaman

Cerpen & Sastra Materi Pembelajaran
Butuh waktu sekitar 9 menit untuk membaca tulisan ini

Aisyah menghela napas panjang, menatap layar ponselnya yang gelap. Notifikasi yang biasanya membanjiri, kini hanya senyap. Tak ada lagi pesan dari Rizky, kekasihnya—ah, mantan kekasihnya sekarang. Tiga tahun bersama, dan semua berakhir begitu saja dalam satu malam penuh air mata dan kata-kata pahit.

“Mungkin kita terlalu berbeda, Aisyah. Aku butuh seseorang yang bisa mengimbangi ambisiku,” kata-kata Rizky terngiang kembali, menusuk hatinya seperti jarum tak kasat mata.

Aisyah bangkit dari tempat tidurnya, berjalan gontai ke arah cermin. Matanya yang biasanya berbinar kini sembab, jejak-jejak air mata masih terlihat di pipinya yang tirus. Ia merapikan jilbabnya yang sedikit berantakan, kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan bahkan di saat terpuruknya.

“Apa yang salah denganku?” bisiknya pada bayangan di cermin. Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya sejak semalam, membuatnya tak bisa tidur dan kehilangan selera makan.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Untuk sesaat, jantung Aisyah berdegup kencang, berharap itu adalah pesan dari Rizky. Namun, harapan itu pupus ketika ia melihat nama sahabatnya, Siti, di layar.

“Syah, jangan lupa ya hari ini kita ada tugas ke Museum Aceh. Jemput aku jam 9 ya!”

Aisyah menepuk dahinya. Ia hampir lupa dengan tugas sekolah mereka. Sejenak, ia berpikir untuk membatalkannya, merasa tidak siap menghadapi dunia luar dengan hati yang masih remuk. Namun, sesuatu dalam dirinya mendorong untuk tetap pergi. Mungkin, pikirnya, sedikit pengalihan akan membantunya melupakan Rizky, walau hanya untuk beberapa jam.

Dengan tekad yang dipaksakan, Aisyah bersiap-siap. Ia memilih gamis berwarna biru laut favoritnya, warna yang selalu membuatnya merasa tenang. Jilbab senada membingkai wajahnya yang oval, memberikan sedikit warna pada kulitnya yang pucat karena kurang tidur.

Tepat pukul 9, Aisyah sudah berada di depan rumah Siti. Sahabatnya itu langsung masuk ke mobil dengan semangat yang kontras dengan suasana hati Aisyah.

“Eh, kok mukamu kusut begitu, Syah?” tanya Siti, menyadari ada yang tidak beres dengan sahabatnya.

Aisyah hanya menggeleng lemah, mencoba tersenyum walau gagal. “Nggak apa-apa, cuma kurang tidur,” dustanya.

Siti tidak percaya, tapi memutuskan untuk tidak mendesak. Ia tahu, Aisyah akan bercerita jika sudah siap.

Perjalanan ke Museum Aceh diisi dengan obrolan ringan dari Siti, sementara Aisyah hanya menanggapi seadanya. Pikirannya masih melayang pada Rizky dan kata-kata perpisahan mereka.

Setibanya di museum, Aisyah merasa sedikit lega. Ada sesuatu dari bangunan tua yang megah itu yang membuatnya merasa kecil, mengingatkannya bahwa ada hal-hal yang lebih besar dari masalah cintanya.

“Selamat datang di Museum Aceh,” sapa seorang pemuda tinggi dengan senyum ramah. “Saya Reza, akan menjadi guide kalian hari ini.”

Aisyah mengangkat wajahnya, bertemu pandang dengan sepasang mata cokelat yang hangat. Untuk sesaat, ia lupa caranya bernapas.

“Hai, saya Siti, dan ini Aisyah,” Siti memperkenalkan diri, menyenggol Aisyah yang masih terdiam.

“Oh, iya, hai,” Aisyah tergagap, merutuki dirinya sendiri dalam hati.

Reza tersenyum lebih lebar, “Senang bertemu dengan kalian. Ayo, kita mulai turnya.”

Mereka mulai berjalan menyusuri lorong-lorong museum. Reza dengan fasih menjelaskan berbagai artefak dan sejarah di baliknya. Namun, Aisyah hanya setengah mendengarkan. Pikirannya masih berkecamuk, bercampur dengan kebingungan atas reaksinya terhadap Reza.

“Nah, di sini kita punya koleksi tentang Kerajaan Samudra Pasai,” suara Reza menarik Aisyah kembali ke realitas. “Kalian tahu tidak, Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara?”

Aisyah menggeleng, untuk pertama kalinya merasa tertarik. “Benarkah? Saya kira Demak yang pertama,” ujarnya, suaranya masih lirih namun ada nada penasaran di dalamnya.

Reza mengangguk antusias, senang melihat respon Aisyah. “Banyak yang mengira begitu. Tapi sebenarnya, Samudra Pasai sudah berdiri jauh sebelum Demak, tepatnya pada abad ke-13.”

“Wah, aku baru tahu,” Siti berkomentar, matanya berbinar penuh minat.

“Kerajaan ini tidak hanya penting dalam sejarah Islam, tapi juga dalam perkembangan budaya dan ekonomi Nusantara,” Reza melanjutkan. “Bayangkan, di masa itu Samudra Pasai sudah menjadi pusat perdagangan yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai penjuru dunia.”

Aisyah mulai merasakan sesuatu berubah dalam dirinya. Cerita Reza tentang kejayaan masa lalu tanah kelahirannya membuat masalahnya sendiri terasa kecil dan tidak berarti.

“Apakah… apakah ada tokoh perempuan yang berperan penting di kerajaan ini?” tanya Aisyah tiba-tiba, entah dari mana datangnya keberanian itu.

Mata Reza berbinar, “Tentu saja! Salah satunya adalah Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu. Dia adalah pemimpin perempuan pertama di Samudra Pasai, dan memerintah dengan sangat bijaksana.”

Baca juga :  Kondisi Masyarakat Mekah Sebelum Islam

Aisyah tertegun. Membayangkan seorang perempuan memimpin kerajaan besar di masa itu, menghadapi tantangan yang pasti jauh lebih berat dari patah hati yang ia alami.

“Bagaimana dia bisa menjadi ratu? Apa tidak ada penentangan?” tanya Aisyah lagi, kali ini dengan lebih bersemangat.

Reza tersenyum, senang melihat antusiasme Aisyah. “Pertanyaan bagus! Ratu Nihrasiyah naik takhta karena kemampuannya, bukan hanya karena garis keturunan. Meskipun ada tantangan, kebijaksanaan dan kecerdasannya membuat rakyat dan para petinggi kerajaan menghormatinya.”

Saat Reza melanjutkan penjelasannya, Aisyah merasakan sesuatu berubah dalam dirinya. Kisah-kisah tentang perjuangan dan ketangguhan para tokoh sejarah mulai mengisi pikirannya, perlahan menggeser kesedihan yang tadinya mendominasi.

“Jadi,” Reza melanjutkan, “Samudra Pasai bukan hanya tentang perdagangan atau penyebaran agama. Ini adalah bukti bahwa di tanah Aceh, perempuan sudah dihargai dan diberi kesempatan untuk memimpin sejak dulu.”

Aisyah mengangguk, matanya kini berbinar penuh minat. Untuk pertama kalinya sejak putus dengan Rizky, ia merasakan sesuatu selain kesedihan—rasa kagum dan inspirasi.

“Terima kasih, Reza,” kata Aisyah tulus. “Cerita ini… entah kenapa membuat saya merasa lebih baik.”

Reza tersenyum hangat, “Senang bisa membantu. Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang inspirasi untuk masa kini dan masa depan.”

Saat mereka melanjutkan tur, Aisyah merasakan perubahan dalam dirinya. Patah hati masih terasa, tapi kini ada sesuatu yang lain—sebuah tekad baru untuk menjadi lebih kuat, seperti para perempuan hebat dalam sejarah Aceh.

Di luar museum, matahari Aceh bersinar cerah, seolah menyambut semangat baru Aisyah. Ia menoleh pada Reza, “Boleh saya tahu lebih banyak tentang sejarah Aceh? Rasanya… saya ingin belajar lebih dalam.”

Reza mengangguk antusias, “Tentu saja! Bagaimana kalau kita mulai dengan mengunjungi situs Kerajaan Aceh Darussalam besok?”

Untuk pertama kalinya sejak berhari-hari, Aisyah tersenyum tulus. “Saya akan sangat senang.”

Saat mereka berpisah, Aisyah merasakan sesuatu yang baru tumbuh dalam hatinya. Bukan hanya ketertarikan pada sejarah, tapi juga pada Reza dan cara pemuda itu membuka matanya pada kekayaan warisan budayanya.

Malam itu, sebelum tidur, Aisyah membuka jurnal lamanya. Dengan pena di tangan, ia mulai menulis:

“Hari ini, aku belajar bahwa cinta bukan hanya tentang romansa. Ada cinta pada ilmu, pada sejarah, dan pada diri sendiri. Mungkin inilah awal dari sebuah perjalanan baru—untuk mencintai diriku sendiri dan warisanku sebagai perempuan Aceh.”

Dengan senyum kecil, Aisyah menutup jurnalnya. Besok adalah hari baru, dan ia tak sabar untuk menjelajahi lebih jauh, baik sejarah Aceh maupun lembar baru dalam hidupnya.

*****

Keesokan harinya, Aisyah bangun dengan semangat yang tak ia rasakan sejak berhari-hari. Ia merapikan jilbabnya dengan lebih cermat, memilih warna hijau muda yang melambangkan harapan baru. Saat ia hendak berangkat, ponselnya berdering—Sitti memanggil.

“Assalamualaikum, Syah! Sudah siap untuk hari ini?” suara Sitti terdengar riang di seberang sana.

“Waalaikumsalam, Sit. Iya, aku sudah siap,” jawab Aisyah, tersenyum mendengar antusiasme sahabatnya.

“Syukurlah! Aku senang melihatmu lebih bersemangat. Ngomong-ngomong, aku sudah bilang ke Reza kalau aku ikut ya. Nggak apa-apa kan?”

Aisyah terdiam sejenak. Ia hampir lupa bahwa rencana hari ini awalnya hanya untuknya dan Reza. Namun, kehadiran Sitti justru membuatnya merasa lebih nyaman.

“Tentu saja tidak apa-apa, Sit. Malah aku senang kamu ikut,” jawab Aisyah tulus.

Setengah jam kemudian, mereka bertiga—Aisyah, Sitti, dan Reza—sudah berada di lokasi bekas Istana Kesultanan Aceh Darussalam. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan bangunan bersejarah di hadapan mereka menciptakan atmosfer yang magis.

“Nah, selamat datang di situs Kerajaan Aceh Darussalam,” Reza memulai, senyumnya merekah. “Kerajaan ini adalah penerus kejayaan Samudra Pasai yang kemarin kita bahas.”

Aisyah dan Sitti mengangguk, mata mereka menyapu area di sekitar mereka dengan takjub.

“Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda,” Reza melanjutkan. “Beliau memerintah dari tahun 1607 hingga 1636.”

“Wah, itu kan di masa penjajahan ya?” Sitti bertanya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

Reza mengangguk, “Betul sekali, Sitti. Dan justru di masa-masa sulit itulah Aceh mampu menjadi salah satu kerajaan terkuat di Nusantara.”

Aisyah, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Bagaimana bisa? Maksudku, menghadapi penjajah pasti bukan hal yang mudah.”

“Pertanyaan bagus, Aisyah,” Reza tersenyum, membuat pipi Aisyah sedikit merona. “Sultan Iskandar Muda adalah pemimpin yang visioner. Beliau tidak hanya kuat dalam hal militer, tapi juga cerdas dalam berdiplomasi dan membangun perekonomian.”

Baca juga :  Masuknya Islam Ke Indonesia (SKI Fase F/Kelas XII)

Mereka berjalan perlahan, memasuki area yang dulunya merupakan pusat pemerintahan. Reza menunjuk ke sebuah bangunan di kejauhan.

“Itu adalah bekas Masjid Baiturrahman yang asli. Sayangnya, bangunan aslinya sudah tidak ada, tapi lokasi ini tetap penting secara historis.”

Sitti mengeluarkan ponselnya, mengambil beberapa foto. “Ini keren banget! Boleh aku share di sosmed?”

Reza tertawa kecil, “Tentu saja boleh. Tapi ingat, ceritakan juga sejarahnya ya, bukan cuma fotonya.”

Aisyah tersenyum melihat interaksi keduanya. Ada rasa hangat yang tumbuh di hatinya, menggantikan kesedihan yang tadinya bercokol.

“Reza,” Aisyah memanggil pelan, “aku dengar ada kisah cinta yang terkenal tentang Sultan Iskandar Muda. Apa itu benar?”

Mata Reza berbinar, “Ah, maksudmu kisah Sultan Iskandar Muda dan Putroe Phang? Itu salah satu kisah cinta paling terkenal dalam sejarah Aceh.”

Sitti, yang tadinya sibuk dengan ponselnya, kini ikut mendekat. “Ceritakan dong! Aku suka banget kisah cinta sejarah.”

Reza mengangguk, lalu mulai bercerita, “Putroe Phang, atau nama aslinya Putri Kamaliah, adalah putri dari Kerajaan Pahang. Pernikahan mereka awalnya adalah bagian dari strategi politik, tapi kemudian tumbuh menjadi cinta yang dalam.”

Aisyah mendengarkan dengan seksama, merasakan ada yang bergetar dalam hatinya.

“Yang menarik,” Reza melanjutkan, “Putroe Phang bukan hanya sekedar pendamping Sultan. Ia aktif membantu dalam pemerintahan dan bahkan menjadi penasihat Sultan dalam berbagai keputusan penting.”

“Wah, jadi seperti power couple ya,” Sitti berkomentar, membuat mereka semua tertawa.

Aisyah terdiam sejenak, lalu bertanya, “Jadi, cinta tidak menghalangi mereka untuk tetap berkontribusi pada kerajaan?”

Reza mengangguk, “Justru sebaliknya. Cinta mereka memperkuat kerajaan. Ini mengajarkan kita bahwa cinta yang sejati bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang bagaimana kita bisa tumbuh bersama dan berkontribusi pada lingkungan kita.”

Kata-kata Reza menohok Aisyah. Ia teringat kata-kata Rizky tentang “mengimbangi ambisi”. Mungkin, pikirnya, bukan itu yang salah dengan hubungan mereka. Mungkin mereka hanya belum menemukan cara untuk tumbuh bersama.

Sitti, yang sejak awal memperhatikan perubahan raut wajah Aisyah, menepuk pundak sahabatnya lembut. “Kamu oke, Syah?”

Aisyah tersenyum, kali ini lebih tulus dari sebelumnya. “Iya, Sit. Aku… belajar banyak hari ini.”

Reza, yang tampaknya juga menangkap perubahan pada Aisyah, berkata dengan lembut, “Sejarah bukan hanya tentang masa lalu. Ia mengajarkan kita tentang ketangguhan, tentang bagaimana menghadapi tantangan, dan tentu saja, tentang cinta dalam berbagai bentuknya.”

Mereka melanjutkan tur, kali ini dengan Sitti yang lebih aktif bertanya tentang aspek-aspek budaya dan seni pada masa Kesultanan Aceh. Aisyah, sementara itu, tenggelam dalam pemikirannya sendiri, mencerna setiap informasi dan menghubungkannya dengan pengalaman pribadinya.

Menjelang sore, ketika tur hampir berakhir, Aisyah merasakan ada yang berubah dalam dirinya. Kesedihan atas putusnya hubungan dengan Rizky masih ada, tapi kini ia melihatnya dari perspektif yang berbeda.

“Terima kasih, Reza,” kata Aisyah saat mereka berpisah. “Tur ini… mengajarkan banyak hal padaku.”

Reza tersenyum hangat, “Senang bisa membantu. Jangan lupa, Aisyah, kamu adalah bagian dari sejarah yang panjang ini. Perempuan Aceh selalu kuat dan berpengaruh.”

Sitti merangkul Aisyah, “Nah, sekarang kita pulang yuk! Aku punya ide untuk tugas sejarah kita.”

Dalam perjalanan pulang, Aisyah memandang ke luar jendela, melihat kota Banda Aceh yang modern namun tetap menjaga warisan sejarahnya. Ia menyadari, seperti kotanya, ia pun harus belajar untuk melangkah maju tanpa melupakan akar dan nilai-nilai yang telah membentuknya.

“Sit,” panggil Aisyah pelan, “makasih ya sudah menemaniku hari ini.”

Sitti tersenyum lebar, “Sama-sama, Syah. Itu gunanya sahabat. Ngomong-ngomong, besok kita ke museum lagi yuk! Aku mau tanya lebih banyak ke Reza tentang peran perempuan di Kerajaan Aceh.”

Aisyah tertawa kecil, untuk pertama kalinya sejak putus dengan Rizky. “Boleh. Tapi kali ini, aku yang akan lebih banyak bertanya.”

Malam itu, sebelum tidur, Aisyah kembali membuka jurnalnya. Ia menulis:

“Hari ini aku belajar bahwa sejarah bukan hanya tentang masa lalu. Ia tentang bagaimana kita, sebagai generasi penerus, bisa mengambil inspirasi dan kekuatan dari mereka yang telah berjuang sebelum kita. Cinta, ternyata, bisa menjadi kekuatan yang luar biasa jika disandingkan dengan tekad dan kontribusi. Mungkin suatu hari nanti, aku juga bisa menjadi bagian dari sejarah yang membanggakan, seperti Putroe Phang atau Ratu Nihrasiyah. Untuk saat ini, aku akan mulai dengan mencintai dan menghargai diriku sendiri, warisanku, dan orang-orang di sekitarku.”

Dengan senyum di wajah, Aisyah menutup jurnalnya. Besok adalah hari baru, dan ia siap menghadapinya dengan semangat baru—semangat seorang perempuan Aceh yang kuat dan berpengaruh.

Baca juga :  Jejak Cahaya 14 Abad Silam

*****

Beberapa minggu telah berlalu sejak kunjungan Aisyah ke situs Kerajaan Aceh Darussalam. Hari-hari dilaluinya dengan semangat baru, dipenuhi kegiatan belajar dan eksplorasi sejarah yang semakin intens. Sore itu, Aisyah duduk di bangku taman sekolah, buku-buku sejarah berserakan di sekitarnya, sementara Sitti duduk di sampingnya, sibuk mengetik di laptop.

“Syah, coba lihat deh,” Sitti menunjukkan layar laptopnya pada Aisyah. “Aku sudah selesai mengedit video kita tentang sejarah Aceh.”

Aisyah mendekat, matanya berbinar melihat hasil kerja keras mereka. Video itu menampilkan cuplikan-cuplikan kunjungan mereka ke berbagai situs bersejarah, diselingi narasi yang menjelaskan pentingnya warisan sejarah Aceh.

“Ini keren banget, Sit!” Aisyah berseru antusias. “Aku nggak nyangka kita bisa bikin konten sebagus ini.”

Sitti tersenyum lebar, “Iya dong, ini kan proyek kita bersama. Oh iya, jangan lupa besok kita presentasi di depan kelas.”

Aisyah mengangguk, rasa gugup dan antusias bercampur dalam dirinya. Ini akan menjadi pertama kalinya ia berbicara di depan umum tentang sejarah yang kini begitu ia cintai.

Keesokan harinya, kelas sejarah Islam dipenuhi murid-murid yang penasaran. Bu Aminah, guru sejarah mereka, tersenyum bangga saat Aisyah dan Sitti maju ke depan kelas.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” Aisyah memulai presentasi dengan suara yang lebih percaya diri dari yang ia kira. “Hari ini, kami akan membawa kalian dalam perjalanan menemukan kembali kejayaan Islam di tanah Aceh.”

Sitti kemudian memulai pemutaran video yang telah mereka buat. Selama presentasi, Aisyah menjelaskan dengan penuh semangat tentang Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh Darussalam, peran penting para pemimpin seperti Ratu Nihrasiyah dan Sultan Iskandar Muda, serta bagaimana nilai-nilai Islam terintegrasi dalam kehidupan sosial dan politik kerajaan-kerajaan tersebut.

“Yang paling menginspirasi saya,” Aisyah melanjutkan, matanya berbinar, “adalah bagaimana Islam di Aceh pada masa itu tidak hanya tentang ibadah, tapi juga tentang membangun peradaban. Para ulama tidak hanya ahli agama, tapi juga ilmuwan dan negarawan.”

Presentasi mereka ditutup dengan diskusi hangat. Banyak teman sekelas yang terkejut mengetahui betapa kayanya sejarah Islam di Aceh.

“Masyaallah, aku baru tahu kalau Aceh pernah jadi pusat pembelajaran Islam terbesar di Asia Tenggara,” komentar salah satu teman mereka.

Bu Aminah, yang sejak tadi memperhatikan dengan seksama, akhirnya angkat bicara. “Mashaa Allah, Aisyah, Sitti. Kalian telah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Presentasi ini bukan hanya informatif, tapi juga menginspirasi.”

Aisyah dan Sitti bertukar pandang, tersenyum penuh syukur.

Sepulang sekolah, Aisyah duduk di bangku taman favoritnya, membuka jurnal yang kini menjadi sahabat setianya. Ia mulai menulis:

“Hari ini, aku merasa telah menemukan tujuan hidupku. Bukan hanya tentang mengejar cinta atau prestasi pribadi, tapi tentang bagaimana aku bisa berkontribusi pada umat dan bangsaku. Sejarah Islam di Aceh telah membuka mataku bahwa sebagai muslimah, aku punya tanggung jawab besar untuk terus belajar, berkembang, dan memberi manfaat.”

Aisyah berhenti sejenak, memandang langit sore yang cerah. Ia teringat perjalanannya beberapa minggu terakhir, dari seorang gadis patah hati menjadi seseorang yang menemukan passion barunya.

“Aku bersyukur Allah membimbingku melalui ujian ini,” tulisnya lagi. “Patah hati yang kualami telah membawaku pada cinta yang lebih besar—cinta pada ilmu, pada sejarah, dan pada agamaku. Aku sadar, untuk menjadi muslimah yang baik, aku harus terus mengembangkan diri, tidak hanya dalam ibadah tapi juga dalam ilmu dan akhlak.”

Aisyah menutup jurnalnya, tersenyum pada dirinya sendiri. Ia merasa telah tumbuh menjadi versi dirinya yang lebih baik. Bukan lagi gadis yang menggantungkan kebahagiaannya pada orang lain, tapi seorang muslimah yang kuat, mandiri, dan haus akan ilmu.

Ketika ia bangkit untuk pulang, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Reza:

“Assalamualaikum, Aisyah. Saya dengar presentasimu dan Sitti sangat sukses. Masyaa Allah, senang sekali melihat antusiasme kalian terhadap sejarah Islam. Ngomong-ngomong, museum akan mengadakan pameran tentang naskah-naskah kuno Aceh minggu depan. Tertarik untuk menjadi volunteer?”

Aisyah tersenyum lebar. Tanpa ragu, ia membalas:

“Waalaikumsalam, Reza. Alhamdulillah, terima kasih atas apresiasinya. Mengenai volunteer, insyaa Allah saya sangat tertarik! Bisa tolong kirimkan detailnya?”

Malam itu, Aisyah tidur dengan hati yang damai. Ia telah menemukan jalan barunya—jalan seorang muslimah yang terinspirasi oleh sejarah untuk menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi sesama. Besok adalah hari baru, dan Aisyah siap menghadapinya dengan semangat seorang pewaris peradaban Islam yang agung.

Tinggalkan Balasan