Ilustrasi berwarna dari sebuah masjid dengan kubah besar di atasnya. Masjid ini memiliki arsitektur tradisional dengan detail rumit, termasuk serangkaian lengkungan di pintu masuk yang didukung oleh tiang-tiang. Di sekeliling masjid terdapat pagar rendah. Di latar depan, terlihat beberapa orang dan anak-anak yang sedang berkumpul, menunjukkan suasana yang ramai. Langit di atas masjid dipenuhi awan, menambah kesan dramatis pada gambar.

Permainan Game Serius

Cerpen & Sastra Materi Pembelajaran
Butuh waktu sekitar 12 menit untuk membaca tulisan ini

Senja merambat perlahan di langit Tenggarong, mewarnai Sungai Mahakam dengan semburat jingga keemasan. Di sebuah rumah bergaya kolonial di tepi sungai, dua remaja tengah asyik bermain game online di kamar lantai dua. Jari-jari mereka menari lincah di atas keyboard, sementara mata mereka terpaku pada layar yang berkedip-kedip.

“Reyhan, awas! Di belakangmu!” teriak Kayla, gadis berambut panjang dengan kacamata bulat yang bertengger di hidungnya.

Reyhan, pemuda berkulit sawo matang dengan rambut ikal, menggeram pelan. “Sial, kalah lagi kita.”

Layar komputer menampilkan tulisan “GAME OVER” yang besar. Keduanya menghela nafas panjang, lalu bersandar di kursi masing-masing.

“Rey, kamu pernah nggak sih mikir,” Kayla memulai, sambil melepas kacamatanya dan mengusap matanya yang lelah, “kenapa kita selalu main game dari luar negeri? Apa nggak ada game yang ngangkat cerita lokal kita?”

Reyhan mengangkat alis. “Maksudmu seperti legenda daerah gitu?”

“Iya, atau mungkin… sejarah kerajaan Islam di Kalimantan?” Kayla menjawab, matanya berbinar. “Bayangkan kalau kita bisa main game tentang Kesultanan Kutai atau Banjar. Pasti seru!”

Reyhan terdiam sejenak, dahinya berkerut. “Hmm, sejarah Islam di Kalimantan ya… Jujur, aku nggak terlalu ingat pelajaran sejarah waktu SMP dulu. Tapi kayaknya menarik sih.”

“Nah kan!” Kayla berseru antusias. “Coba deh kita pikir, apa yang kita tahu tentang sejarah Islam di sini?”

Keduanya terdiam, berusaha mengingat-ingat pelajaran sejarah yang sudah lama berlalu. Reyhan menggaruk kepalanya, sementara Kayla mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya.

“Umm… ada Sultan… siapa gitu ya?” Reyhan mencoba menerka.

“Sultan Suriansyah?” Kayla menyahut ragu.

“Oh iya, betul! Dari Kesultanan Banjar kan?” Reyhan mengangguk semangat. “Tapi Kutai… aku blank nih.”

Kayla tertawa kecil. “Sama, aku juga nggak ingat banyak. Padahal kita tinggal di Tenggarong, pusat Kesultanan Kutai dulu.”

“Ironis ya,” Reyhan tersenyum kecut. “Kita lebih hafal nama-nama karakter game daripada tokoh sejarah lokal kita sendiri.”

Tiba-tiba, angin kencang berhembus dari jendela yang terbuka, menerbangkan beberapa kertas di meja belajar Reyhan. Salah satu kertas tersangkut di kaki lemari tua di sudut kamar.

“Biar kuambil,” kata Reyhan, bangkit dari kursinya.

Saat ia membungkuk untuk mengambil kertas itu, matanya menangkap sesuatu di balik lemari. Sebuah kotak kayu berukir yang tampak usang.

“Kayla, coba lihat ini,” panggil Reyhan, menarik kotak itu keluar.

Kayla mendekat, penasaran. “Apa itu?”

Dengan hati-hati, Reyhan membuka kotak tersebut. Di dalamnya, terdapat sebuah buku tua bersampul kulit dengan tulisan Arab melayu yang sudah memudar.

“Wow,” bisik Kayla takjub. “Ini… buku apa?”

Reyhan membalik-balik halaman buku itu perlahan. Meski sebagian besar tulisannya sulit dibaca, ada beberapa kata yang bisa ia kenali.

“Sepertinya… ini semacam catatan sejarah,” gumam Reyhan. “Lihat, ada nama Sultan Aji Muhammad Salehuddin di sini.”

Mata Kayla melebar. “Sultan Kutai? Rey, ini penemuan besar!”

Reyhan mengangguk, matanya berkilat penuh semangat. “Kau benar. Mungkin ini bisa jadi awal petualangan kita menggali sejarah Islam di Kalimantan.”

Kayla tersenyum lebar. “Jadi, kita mulai dari mana?”

“Bagaimana kalau kita bagi tugas?” usul Reyhan. “Aku akan fokus pada Kesultanan Kutai, dan kau bisa meneliti tentang Kesultanan Banjar. Kita bisa mulai dari buku-buku di perpustakaan keluargaku di lantai bawah.”

“Setuju!” Kayla mengangguk antusias. “Oh, dan jangan lupa, kakekmu kan mantan guru sejarah. Pasti dia tahu banyak.”

Reyhan menepuk dahinya. “Benar juga! Kenapa tidak terpikir dari tadi ya?”

Mereka berdua tertawa, lalu mulai menyusun rencana penelitian mereka. Tanpa mereka sadari, petualangan besar telah menanti di depan mata. Sebuah perjalanan yang akan membawa mereka menelusuri jejak para sultan, mengungkap kisah-kisah yang terlupakan, dan menemukan kembali identitas mereka sebagai generasi penerus.

Senja di luar semakin gelap, tapi di dalam kamar Reyhan, cahaya semangat dua remaja itu bersinar terang. Mereka telah memulai langkah pertama dalam petualangan yang akan mengubah cara mereka memandang sejarah, Islam, dan diri mereka sendiri.

*****

Minggu-minggu berikutnya berlalu dengan cepat. Reyhan dan Kayla menghabiskan sebagian besar waktu luang mereka menggali informasi tentang Kesultanan Kutai dan Banjar. Perpustakaan keluarga Reyhan yang luas menjadi markas mereka, dengan tumpukan buku sejarah, peta kuno, dan catatan-catatan berserakan di meja besar di tengah ruangan.

Sore itu, keduanya duduk berhadapan, masing-masing tenggelam dalam bacaan mereka. Reyhan menekuri sebuah buku tebal tentang Kesultanan Kutai, sementara Kayla asyik membaca jurnal penelitian tentang Kesultanan Banjar.

“Kay, coba dengar ini,” Reyhan memecah keheningan, matanya berbinar. “Ternyata Sultan Aji Muhammad Salehuddin itu punya peran besar dalam perkembangan Islam di Kutai.”

Kayla mengangkat wajahnya dari jurnal yang ia baca. “Oh ya? Ceritakan dong.”

Reyhan membetulkan posisi duduknya, bersiap untuk berbagi penemuannya. “Jadi, Sultan Aji Muhammad Salehuddin ini memerintah Kutai Kartanegara pada abad ke-17. Dia dikenal sebagai sultan yang sangat religius dan berperan penting dalam memperkuat fondasi Islam di kerajaan.”

“Wow, itu menarik,” Kayla mengangguk. “Apa yang dia lakukan?”

“Nah, yang keren itu, dia mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam, termasuk pesantren. Bahkan, konon katanya, beliau sendiri yang sering mengajar di sana,” Reyhan menjelaskan dengan antusias. “Oh, dan yang ini lebih menarik lagi. Sultan Aji Muhammad Salehuddin juga mengirim utusan ke Mekkah untuk belajar Islam lebih dalam. Bayangkan, Kay, di zaman itu!”

Kayla berdecak kagum. “Itu pasti perjalanan yang sangat panjang dan berbahaya. Sultan pasti punya visi yang jauh ke depan ya.”

“Betul,” Reyhan mengangguk setuju. “Dan ada lagi nih. Ternyata perkembangan Islam di Kutai juga tidak lepas dari pengaruh perdagangan maritim.”

“Maksudnya?” tanya Kayla, semakin penasaran.

“Jadi, Kutai itu punya pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai daerah, termasuk pedagang Muslim dari Jawa, Sumatera, bahkan dari Timur Tengah,” Reyhan menjelaskan. “Nah, interaksi dengan para pedagang ini tidak hanya soal barang dagangan, tapi juga pertukaran ide dan ajaran Islam.”

Baca juga :  Masuknya Islam Ke Indonesia (SKI Fase F/Kelas XII)

Kayla mengangguk-angguk, mencerna informasi itu. “Ah, aku paham sekarang. Jadi Islam berkembang di Kutai tidak hanya karena kebijakan sultan, tapi juga karena posisi strategis Kutai dalam jalur perdagangan ya?”

“Tepat sekali!” Reyhan tersenyum lebar. “Bagaimana dengan temuanmu tentang Kesultanan Banjar?”

Kayla menegakkan tubuhnya, bersiap untuk membagikan hasil penelitiannya. “Oh, Kesultanan Banjar juga tidak kalah menarik, Rey. Kau tahu tentang Sultan Suriansyah?”

Reyhan menggeleng. “Aku hanya tahu namanya, tapi tidak banyak.”

“Nah, Sultan Suriansyah ini, yang nama aslinya Pangeran Samudera, adalah pendiri Kesultanan Banjar,” Kayla memulai penjelasannya. “Yang menarik, dia awalnya bukan Muslim.”

“Serius?” Reyhan terkejut. “Lalu bagaimana ceritanya?”

Kayla tersenyum, senang bisa berbagi kisah yang ia temukan. “Jadi begini. Pangeran Samudera ini terlibat dalam perebutan tahta Kerajaan Daha. Dia meminta bantuan Kesultanan Demak untuk mengalahkan pamannya yang juga mengincar tahta.”

“Kesultanan Demak? Yang di Jawa itu?” Reyhan memastikan.

“Yap, betul. Demak setuju membantu, tapi dengan syarat Pangeran Samudera harus masuk Islam jika menang,” Kayla melanjutkan. “Dan ternyata Pangeran Samudera berhasil. Sesuai janjinya, dia pun masuk Islam dan mengambil gelar Sultan Suriansyah.”

Reyhan mengangguk-angguk, terpukau. “Wow, jadi Kesultanan Banjar lahir dari sebuah perjanjian politik yang berujung pada konversi agama?”

“Tepat sekali,” Kayla membenarkan. “Tapi yang lebih menarik lagi, Rey. Konversi Sultan Suriansyah ini membawa dampak besar. Banyak rakyat Banjar yang kemudian juga masuk Islam. Bahkan, Kesultanan Banjar kemudian menjadi pusat penyebaran Islam di Kalimantan Selatan.”

“Itu menjelaskan peran Demak dalam penyebaran Islam di Kalimantan yang kau sebut tadi,” Reyhan menambahkan, mulai menghubungkan berbagai informasi yang mereka dapatkan.

Kayla mengangguk bersemangat. “Betul! Dan kau tahu tidak? Ternyata ada keterkaitan antara Kesultanan Kutai dan Banjar dalam hal penyebaran Islam.”

“Oh ya? Bagaimana ceritanya?” tanya Reyhan penasaran.

“Jadi, setelah Kesultanan Banjar berdiri dan Islam mulai berkembang di sana, banyak ulama dan pendakwah dari Banjar yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Kalimantan, termasuk ke Kutai,” Kayla menjelaskan. “Mereka ikut berperan dalam memperkuat fondasi Islam di Kutai yang sudah dibangun oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin.”

Reyhan terdiam sejenak, mencerna semua informasi yang baru saja mereka bahas. “Kay, kau sadar tidak? Kita baru saja menemukan benang merah yang menghubungkan sejarah Islam di Kutai dan Banjar.”

Kayla mengangguk, matanya berbinar. “Iya, Rey! Ini seperti menemukan potongan puzzle yang hilang. Rasanya… wow, aku tidak tahu harus menjelaskannya bagaimana.”

“Aku mengerti perasaanmu,” Reyhan tersenyum lebar. “Rasanya seperti menemukan akar kita sendiri ya? Seperti akhirnya memahami mengapa kita ada di sini, di tanah Kalimantan ini.”

Kayla mengangguk setuju. “Tepat sekali. Dan kau tahu apa yang paling mengejutkan bagiku?”

“Apa itu?”

“Bahwa sejarah Islam di Kalimantan ini ternyata jauh lebih kaya dan menarik dari yang pernah kita bayangkan,” Kayla menjawab dengan nada takjub. “Selama ini kita hanya tahu nama-nama dan tahun, tapi tidak pernah benar-benar memahami cerita di baliknya.”

Reyhan mengangguk setuju. “Kau benar. Dan semakin kita menggali, semakin banyak yang ingin kita ketahui.”

Mereka berdua terdiam sejenak, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Senja mulai merambat di luar jendela, mewarnai langit Tenggarong dengan semburat jingga. Namun di dalam perpustakaan itu, cahaya semangat dua remaja itu masih menyala terang, diperkuat oleh penemuan-penemuan baru yang menakjubkan.

“Hey, Kay,” Reyhan memecah keheningan. “Menurutmu, bagaimana kalau kita buat semacam peta interaktif tentang perjalanan Islam di Kalimantan? Kita bisa menggabungkan semua informasi yang kita temukan.”

Mata Kayla langsung berbinar. “Itu ide brilian, Rey! Kita bisa menandai lokasi-lokasi penting, menambahkan catatan tentang peristiwa-peristiwa kunci, bahkan mungkin membuat timeline perkembangan Islam di Kutai dan Banjar!”

“Exactly!” Reyhan berseru antusias. “Dan siapa tahu, ini bisa jadi awal dari sesuatu yang lebih besar. Mungkin suatu hari nanti, kita bisa membuat game sejarah Islam Kalimantan yang kita impikan itu.”

Kayla tertawa riang. “Dari main game jadi bikin game. Siapa sangka perjalanan kita akan membawa kita sejauh ini?”

Reyhan ikut tertawa. “Ya, dan ini baru permulaan, Kay. Masih banyak yang harus kita gali dan pelajari.”

Dengan semangat baru, Reyhan dan Kayla mulai menyusun rencana untuk proyek peta interaktif mereka. Tanpa mereka sadari, petualangan mereka tidak hanya membawa mereka menelusuri jejak para sultan, tapi juga membimbing mereka menemukan passion baru dan pemahaman yang lebih dalam tentang identitas mereka sebagai generasi muda Kalimantan.

*****

Malam sudah larut ketika Reyhan akhirnya memutuskan untuk mulai menulis rangkuman temuannya tentang Kesultanan Kutai. Kayla sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu, meninggalkan Reyhan sendirian di kamarnya yang kini dipenuhi tumpukan buku dan catatan yang berserakan.

Reyhan menarik nafas dalam-dalam, jari-jarinya bersiap di atas keyboard laptopnya. Dia sudah membayangkan akan menulis dengan lancar, mengingat betapa antusiasnya ia saat berdiskusi dengan Kayla tadi sore. Namun, ketika layar dokumen yang kosong menatap balik padanya, pikirannya mendadak kosong.

“Ayo, Rey,” gumamnya pada diri sendiri. “Kamu bisa melakukan ini.”

Dia mulai mengetik: “Kesultanan Kutai adalah…” lalu berhenti. Dahinya berkerut. Bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan Kesultanan Kutai? Dari mana ia harus memulai? Haruskah ia memulai dari awal berdirinya kerajaan? Atau langsung ke masa Sultan Aji Muhammad Salehuddin?

Reyhan menghapus kalimat yang baru saja ia ketik dan mencoba lagi: “Sultan Aji Muhammad Salehuddin adalah tokoh penting dalam…” Lagi-lagi ia berhenti. Rasanya ada yang kurang. Terlalu kaku, terlalu seperti buku teks.

Frustrasi mulai merayapi dirinya. Kenapa begitu sulit menuliskan hal yang tadi sore begitu mudah ia ceritakan pada Kayla? Semua fakta dan informasi yang ia temukan seolah berputar-putar di kepalanya, tapi ia tak bisa merangkainya menjadi kalimat yang koheren.

Baca juga :  Kilau Mutiara Tersembunyi

Reyhan bersandar di kursinya, memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. Matanya menerawang ke luar jendela, memandangi langit malam Tenggarong yang bertabur bintang. Pikirannya melayang ke masa lalu, membayangkan bagaimana kehidupan di Kesultanan Kutai ratusan tahun yang lalu.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. Bagaimana jika ia mencoba pendekatan yang berbeda? Alih-alih menulis laporan formal, bagaimana jika ia mencoba menulis dari sudut pandang seorang saksi sejarah?

Dengan semangat baru, Reyhan kembali menghadap laptopnya dan mulai mengetik:

“Namaku Aji Raden, seorang pelajar di pesantren yang didirikan oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin. Hari ini, tahun 1665, aku akan menceritakan padamu tentang kehidupan di Kesultanan Kutai di bawah pemerintahan sultan yang bijaksana ini…”

Kata-kata mulai mengalir. Reyhan merasakan semangatnya kembali. Ia membayangkan dirinya sebagai Aji Raden, menceritakan tentang kegiatan belajar di pesantren, tentang kapal-kapal pedagang yang berlabuh di pelabuhan Kutai, tentang khotbah-khotbah Sultan yang menginspirasi rakyatnya untuk mendalami ajaran Islam.

Namun, setelah beberapa paragraf, Reyhan kembali terhenti. Meskipun pendekatan ini lebih menyenangkan, ia menyadari bahwa ada banyak detail yang tidak ia ketahui. Bagaimana kehidupan sehari-hari di pesantren pada masa itu? Apa saja yang dipelajari? Bagaimana pakaian mereka? Apa makanan khas Kutai saat itu?

Reyhan menghela nafas panjang. Ia menyadari bahwa meskipun ia dan Kayla telah menemukan banyak fakta menarik, masih banyak hal yang belum mereka ketahui. Menulis sejarah ternyata jauh lebih kompleks dari yang ia bayangkan.

Ia melirik jam di sudut layar laptopnya. Sudah lewat tengah malam. Dengan berat hati, Reyhan menyimpan dokumennya dan menutup laptop. Mungkin tidur sejenak akan membantunya menjernihkan pikiran.

Saat berbaring di tempat tidurnya, pikiran Reyhan masih dipenuhi oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin, perdagangan maritim, dan penyebaran Islam di Kalimantan. Ia menyadari bahwa petualangan mereka dalam menggali sejarah Islam di Kalimantan masih jauh dari selesai. Masih banyak misteri yang harus dipecahkan, masih banyak cerita yang harus diungkap.

“Besok,” gumamnya setengah mengantuk. “Besok aku akan diskusikan ini dengan Kayla. Mungkin dia punya ide…”

Dengan itu, Reyhan pun terlelap, bermimpi tentang kapal-kapal layar yang berlabuh di pelabuhan Kutai, membawa tidak hanya rempah-rempah dan sutra, tapi juga pengetahuan dan ajaran Islam yang akan mengubah wajah Kalimantan selamanya.

*****

Sementara Reyhan bergulat dengan writer’s block-nya, Kayla menghadapi dilema yang berbeda di rumahnya. Duduk di depan laptopnya, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah sementara matanya menatap layar yang menampilkan draft postingan Instagram tentang Kesultanan Banjar.

Kayla telah menghabiskan beberapa jam terakhir mencoba merangkum temuan-temuan menariknya tentang Sultan Suriansyah dan perkembangan Islam di Banjarmasin dalam format yang menarik untuk media sosial. Dia bahkan telah membuat beberapa infografis sederhana dan memilih foto-foto relevan untuk menyertai teksnya.

Namun, saat hendak menekan tombol “Post”, sesuatu menahannya.

“Apa yang kau lakukan, Kay?” gumamnya pada diri sendiri. “Bukankah ini yang kau inginkan? Membagikan pengetahuan sejarah pada teman-temanmu?”

Ya, itu memang tujuan awalnya. Tapi sekarang, keraguan mulai menggerogotinya. Bagaimana jika ada informasi yang salah? Bagaimana jika penyederhanaan yang ia lakukan untuk membuatnya ‘Instagram-friendly’ justru menghilangkan esensi dari sejarah yang kompleks itu?

Kayla teringat diskusinya dengan Reyhan sore tadi. Mereka telah menemukan betapa kayanya sejarah Islam di Kalimantan, betapa banyak nuansa dan kompleksitas dalam setiap peristiwa. Lalu di sinilah dia, mencoba meringkas semuanya dalam beberapa slide Instagram dan caption 2200 karakter.

Dia membuka kembali buku-buku referensi yang dipinjamnya dari perpustakaan keluarga Reyhan. Membaca ulang catatan-catatannya. Ada begitu banyak detail yang harus ia hilangkan untuk membuat postingannya muat di Instagram. Apakah ini adil bagi sejarah? Apakah ini menghormati perjuangan Sultan Suriansyah dan rakyat Banjar?

Di sisi lain, bukankah lebih baik membagikan sedikit informasi daripada tidak sama sekali? Teman-temannya di media sosial mungkin tidak akan pernah membaca buku-buku tebal tentang sejarah Kalimantan. Mungkin postingan Instagram-nya bisa menjadi pintu masuk bagi mereka untuk mulai tertarik pada sejarah lokal.

Kayla menghela nafas panjang. Dia membuka chat-nya dengan Reyhan:

“Rey, kau masih bangun? Aku butuh pendapatmu.”

Beberapa menit berlalu tanpa balasan. Kayla menduga Reyhan mungkin sudah tidur. Dia kembali menatap draft postingannya, membacanya sekali lagi dengan teliti.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. Bagaimana jika alih-alih mencoba merangkum seluruh sejarah Kesultanan Banjar, dia fokus pada satu aspek saja? Misalnya, kisah konversi Sultan Suriansyah ke Islam. Itu bisa menjadi cerita yang menarik dan mudah diikuti, tanpa harus terlalu menyederhanakan sejarah yang kompleks.

Dengan semangat baru, Kayla mulai mengedit postingannya. Dia menghapus beberapa slide, mengubah caption-nya, dan menambahkan catatan di akhir yang mendorong pembaca untuk mencari tahu lebih lanjut tentang sejarah Kesultanan Banjar.

Setelah puas dengan hasil editannya, Kayla kembali menghadapi dilema: haruskah dia posting sekarang atau menunggu Reyhan untuk mendiskusikannya lebih lanjut?

Akhirnya, Kayla memutuskan untuk menyimpan draft postingannya dan menunggu sampai besok. Dia ingin mendiskusikannya dengan Reyhan terlebih dahulu, memastikan bahwa mereka berdua setuju dengan cara penyampaian informasi ini.

Saat mematikan laptopnya, Kayla tersenyum. Meskipun belum memposting apa-apa, dia merasa telah belajar sesuatu yang berharga malam ini. Merepresentasikan sejarah, terutama di era digital, ternyata bukan hal yang sederhana. Ada tanggung jawab besar yang menyertainya.

“Besok,” gumamnya sambil merebahkan diri di tempat tidur. “Besok aku dan Reyhan harus bicara tentang bagaimana cara terbaik untuk membagikan temuan kami.”

Dengan itu, Kayla pun terlelap, pikirannya dipenuhi oleh Sultan Suriansyah, Kesultanan Banjar, dan tantangan membagikan sejarah di era digital. Tanpa ia sadari, dilema yang ia hadapi malam ini telah membawanya selangkah lebih dekat untuk memahami kompleksitas dan tanggung jawab dalam mempelajari dan membagikan sejarah.

*****

Keesokan harinya, Reyhan dan Kayla bertemu di taman kota Tenggarong. Mereka duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang, laptop terbuka di pangkuan masing-masing. Wajah mereka menunjukkan campuran antara semangat dan kelelahan setelah malam yang panjang.

Baca juga :  Coretan Isran Tentang Rajab

“Jadi,” Reyhan memulai, “bagaimana progress-mu semalam?”

Kayla menghela nafas. “Aku berhasil membuat draft postingan Instagram tentang Sultan Suriansyah, tapi…” Dia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat.

“Tapi?” Reyhan mendorong.

“Tapi aku merasa tidak nyaman mempostingnya,” Kayla melanjutkan. “Rasanya seperti menyederhanakan sejarah yang begitu kaya. Bagaimana denganmu?”

Reyhan tersenyum kecut. “Aku bahkan tidak bisa mulai menulis. Setiap kali mencoba, rasanya ada yang kurang.”

Mereka terdiam sejenak, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Angin sepoi-sepoi membawa aroma khas Sungai Mahakam yang mengalir tidak jauh dari situ.

“Hey,” Reyhan tiba-tiba bersuara, “ingat ide kita tentang membuat peta interaktif?”

Mata Kayla langsung berbinar. “Ya! Kenapa dengan itu?”

“Bagaimana kalau kita fokus pada itu saja? Alih-alih mencoba meringkas semua temuan kita dalam tulisan atau postingan media sosial, kita bisa memvisualisasikannya dalam bentuk peta.”

Kayla mengangguk bersemangat. “Itu bisa jadi solusi yang bagus, Rey! Kita bisa menandai lokasi-lokasi penting, menambahkan catatan singkat tentang peristiwa-peristiwa kunci, bahkan mungkin membuat timeline perkembangan Islam di Kutai dan Banjar!”

“Exactly!” Reyhan berseru. “Dan yang terbaik, kita bisa terus menambahkan informasi seiring dengan penemuan baru kita. Tidak perlu khawatir tentang menyederhanakan terlalu banyak dalam satu postingan.”

Dengan semangat baru, mereka mulai membuka laptop masing-masing dan bekerja. Reyhan fokus pada desain peta dasar Kalimantan, sementara Kayla mulai mengorganisir data dan informasi yang telah mereka kumpulkan.

Selama beberapa jam ke depan, mereka tenggelam dalam pekerjaan mereka, sesekali berdiskusi atau meminta pendapat satu sama lain. Peta interaktif mereka mulai terbentuk: titik-titik berwarna menandai lokasi-lokasi penting, garis-garis menunjukkan jalur perdagangan dan penyebaran Islam, dan catatan-catatan singkat memberikan konteks pada setiap elemen.

Saat matahari mulai condong ke barat, Reyhan dan Kayla akhirnya bisa melihat hasil kerja keras mereka. Di layar laptop mereka, sebuah peta interaktif Kalimantan terpampang, penuh dengan informasi tentang Kesultanan Kutai dan Banjar.

“Wow,” Kayla berbisik takjub. “Ini jauh lebih baik dari yang kubayangkan.”

Reyhan mengangguk setuju. “Dan yang terbaik, kita bisa terus mengembangkannya. Lihat, di sini kita bisa menambahkan informasi lebih detail tentang Sultan Aji Muhammad Salehuddin dan pengaruhnya terhadap perkembangan Islam di Kutai.”

“Dan di sini,” Kayla menunjuk ke arah Banjarmasin di peta, “kita bisa menambahkan kisah lengkap tentang konversi Sultan Suriansyah dan dampaknya terhadap masyarakat Banjar.”

Mereka berdua tersenyum puas. Peta interaktif ini bukan hanya solusi untuk dilema mereka, tapi juga menjadi wadah yang sempurna untuk menggambarkan kekayaan sejarah Islam di Kalimantan yang telah mereka temukan.

“Hey, Kay,” Reyhan bersuara setelah beberapa saat. “Menurutmu, apa yang telah kita pelajari dari semua ini?”

Kayla terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. “Aku rasa, kita telah belajar bahwa sejarah Islam di Kalimantan jauh lebih kaya dan kompleks dari yang kita bayangkan sebelumnya. Sultan Aji Muhammad Salehuddin dan Sultan Suriansyah bukan hanya nama dalam buku teks. Mereka adalah tokoh-tokoh nyata yang keputusan dan tindakan mereka membentuk Kalimantan seperti yang kita kenal sekarang.”

Reyhan mengangguk. “Dan bukan hanya itu. Kita juga belajar bahwa Islam berkembang di sini bukan hanya karena keputusan para sultan, tapi juga karena peran pedagang, ulama, dan masyarakat biasa. Ini cerita tentang bagaimana sebuah agama dan budaya bisa berakar dan berkembang di tanah baru.”

“Benar,” Kayla menambahkan. “Dan yang paling penting, kita belajar bahwa mempelajari dan membagikan sejarah itu tidak mudah. Ada tanggung jawab besar di dalamnya. Kita harus berhati-hati agar tidak menyederhanakan terlalu banyak, tapi di saat yang sama, kita juga harus membuatnya menarik dan mudah dimengerti.”

Reyhan tersenyum lebar. “Kau tahu apa yang paling kusukai dari semua ini, Kay? Bahwa sejarah Islam di Kalimantan ini bukan hanya tentang masa lalu. Ini tentang kita, tentang identitas kita sebagai orang Kalimantan. Memahami sejarah ini membuat aku lebih menghargai warisan budaya kita dan lebih bersemangat untuk menjaga dan mengembangkannya.”

Kayla mengangguk setuju. “Ya, dan ini juga menunjukkan pada kita bagaimana Islam bisa beradaptasi dan berkembang dalam konteks lokal. Itu pelajaran yang sangat relevan untuk kita sebagai muslim di era modern ini.”

Mereka berdua terdiam, meresapi makna dari perjalanan mereka selama beberapa minggu terakhir. Matahari senja menyinari wajah mereka, memberikan cahaya keemasan yang hangat.

“Jadi,” Reyhan akhirnya memecah keheningan, “apa langkah kita selanjutnya?”

Kayla tersenyum penuh semangat. “Well, pertama-tama, kita harus memastikan peta interaktif ini bisa diakses oleh banyak orang. Mungkin kita bisa membuatnya menjadi website?”

“Ide bagus!” Reyhan menyetujui. “Dan mungkin kita bisa mengajak teman-teman lain untuk ikut berkontribusi. Membuat semacam komunitas pecinta sejarah Islam Kalimantan.”

“Aku suka itu,” Kayla mengangguk. “Dan siapa tahu, suatu hari nanti kita benar-benar bisa membuat game sejarah Islam Kalimantan seperti yang kita impikan di awal.”

Reyhan tertawa. “Dari main game jadi bikin game. Siapa sangka perjalanan kita akan membawa kita sejauh ini?”

Mereka berdua tertawa, merasakan campuran kegembiraan dan kepuasan atas apa yang telah mereka capai. Saat mereka mulai membereskan barang-barang mereka, keduanya tahu bahwa ini bukanlah akhir dari petualangan mereka. Ini hanyalah awal dari sebuah perjalanan panjang untuk terus menggali, memahami, dan membagikan kekayaan sejarah Islam di tanah Kalimantan.

Dan saat mereka berjalan pulang, langit senja Tenggarong seolah tersenyum pada mereka, seolah para sultan dan tokoh sejarah yang telah mereka pelajari ikut bangga atas pencapaian dua remaja yang telah berusaha keras untuk menjaga dan menghidupkan kembali warisan mereka.

Tinggalkan Balasan