Sore itu, di salah satu sudut kota Makassar, terdapat sebuah kafe kecil yang tampak sederhana dari luar namun memiliki nuansa klasik di dalamnya. Nama kafe tersebut, Kafe Benteng Somba, mengacu pada benteng bersejarah yang dulu menjadi saksi kejayaan Kerajaan Goa-Tallo. Kafe itu dipenuhi dengan foto-foto hitam-putih yang menggambarkan masa lalu Sulawesi—gambar Sultan Hasanuddin, kapal-kapal dagang, hingga pemandangan Benteng Somba Opu yang gagah di tepi laut.
Di pojok kafe, tiga sahabat—Adit, Zaki, dan Fira—duduk di meja yang sama seperti biasanya. Mereka sering datang ke sini untuk sekadar menghabiskan waktu setelah kuliah atau bekerja. Namun, suasana di antara mereka sore itu tampak berbeda. Adit dan Zaki sama-sama terlihat murung.
Adit menunduk, tatapannya kosong mengarah ke cangkir kopi di depannya. Sementara Zaki hanya menatap ke luar jendela, wajahnya lesu seakan tidak ada semangat yang tersisa. Fira duduk di depan mereka, mengamati dengan cermat kedua sahabatnya yang biasanya ceria.
“Kalian kenapa, sih? Biasanya rame,” Fira akhirnya angkat bicara, mencoba mencairkan suasana.
Adit menghela napas panjang sebelum menjawab, “Gue baru aja putus sama Rania. Gue ngerasa hidup gue berantakan banget sekarang.”
Zaki mengangguk pelan. “Gue juga lagi males ngomong. Tim gue kalah di turnamen e-sport kemarin. Gue udah latian keras, tapi tetap kalah. Kayaknya gue ngga cukup bagus.”
Fira mendengarkan dengan sabar, matanya berpindah dari Adit ke Zaki. Kedua sahabatnya sedang berada di titik rendah, dan dia tahu mereka butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiran.
Setelah beberapa saat terdiam, Fira berkata, “Kalian tahu ngga, tempat ini bukan cuma tempat nongkrong biasa. Lihat semua foto-foto di dinding itu. Ada banyak cerita dari masa lalu yang mungkin bisa kita ambil pelajarannya.”
Adit melirik ke arah Fira, terlihat tidak yakin. “Pelajaran dari foto-foto tua? Lo serius, Fir? Gue baru aja putus.”
Zaki menoleh ke Fira dengan sedikit senyum, tapi jelas masih skeptis. “Iya, Fir. Gue kalah turnamen, dan lo mau ngajarin kita tentang sejarah?”
Fira tersenyum tipis. “Gue tahu kalian lagi down. Tapi, coba dengar dulu. Kadang kita butuh lihat ke belakang buat ngerti apa yang terjadi sekarang. Pernah dengar tentang Sultan Hasanuddin dari Goa-Tallo?”
Adit dan Zaki saling menatap, lalu kembali memandang Fira. Meski ragu, mereka mulai sedikit tertarik. “Ya, kita tahu lah Sultan Hasanuddin. Terus kenapa?”
Fira mengangguk, menyadari bahwa ia berhasil menarik perhatian mereka. “Gue pikir kalian bisa belajar sesuatu dari sejarah Goa-Tallo. Kadang, masalah yang kita hadapi hari ini nggak jauh beda sama apa yang mereka alami di masa lalu. Mereka berjuang, bertahan, dan menemukan keseimbangan di tengah semua kekacauan. Kita juga bisa.”
Adit menghela napas lagi, kali ini lebih ringan. “Oke, Fir. Gue dengerin. Ngga ada salahnya, kan?”
Zaki tersenyum sedikit lebih lebar. “Iya, cerita aja. Siapa tahu ada yang bisa gue ambil.”
Fira menyesap kopinya pelan sebelum akhirnya mulai bicara. “Kalian tahu, Goa-Tallo dulu adalah salah satu kerajaan besar di Sulawesi. Dan yang paling terkenal dari kerajaan itu, tentu saja, Sultan Hasanuddin,” katanya sambil menunjuk ke salah satu foto Sultan Hasanuddin yang tergantung di dinding kafe.
Adit dan Zaki mendengarkan dengan saksama. Meski awalnya ragu, ada rasa penasaran yang mulai muncul di wajah mereka.
“Goa-Tallo bukan cuma pusat pemerintahan, tapi juga pusat perdagangan yang besar di masanya. Banyak kapal-kapal dari berbagai penjuru datang ke sini. Mereka berdagang, berinteraksi, dan pastinya membawa banyak perbedaan. Tapi Sultan Hasanuddin itu cerdas. Dia tahu bahwa untuk menjaga kerajaannya tetap kuat, dia harus menjaga perdamaian dan hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain,” jelas Fira.
Zaki menyela, “Tapi gue pikir dia terkenal karena perang besar melawan Belanda?”
Fira tersenyum. “Itu memang salah satu sisi dari dirinya. Tapi yang orang sering lupa adalah, Sultan Hasanuddin juga sangat pandai dalam berdiplomasi. Dia nggak asal berperang. Dia selalu mencoba menjaga hubungan baik dulu sebelum konflik terjadi. Kalau bisa berdamai, dia akan lakukan itu. Tapi kalau memang harus bertarung untuk mempertahankan kehormatan, dia siap.”
Adit, yang sejak tadi lebih banyak diam, mulai tampak tertarik. “Jadi, maksud lo, dia lebih milih damai daripada perang?”
“Betul. Moderasi itu kunci. Sultan Hasanuddin menghindari konflik yang nggak perlu, tapi dia juga nggak ragu untuk melawan kalau memang terpaksa. Itu yang bikin dia dihormati, bukan cuma karena kekuatannya, tapi karena kebijaksanaannya dalam menghadapi konflik,” jawab Fira.
Dia melanjutkan, “Kalau dipikir-pikir, apa yang dilakukan Hasanuddin itu relevan juga dengan kehidupan kita sekarang. Lihat aja Adit, lo putus sama Rania dan merasa hidup lo berantakan. Tapi, mungkin yang lo butuhin sekarang adalah jangan terlalu larut dalam masalah. Sama seperti Sultan Hasanuddin yang memilih untuk tenang dulu, lo juga bisa ambil waktu untuk lebih tenang. Nggak semua konflik harus dihadapi dengan cara yang emosional.”
Adit mengernyitkan dahi, berpikir sejenak. “Jadi, lo mau bilang gue terlalu serius nanggepin ini?”
Fira menggeleng pelan. “Bukan begitu. Tapi kadang, kita bisa belajar untuk ngga terlalu keras pada diri sendiri. Lo bisa ambil jeda, melihat semuanya dari sudut pandang yang lebih luas. Mungkin ada cara yang lebih tenang buat menyelesaikan masalah ini.”
Zaki, yang sebelumnya hanya mendengarkan, ikut berkomentar. “Jadi, lo maksud kita harus kayak Hasanuddin? Bijak dalam menghadapi masalah, dan nggak asal ribut?”
“Persis,” jawab Fira. “Kadang kita terlalu cepat bereaksi terhadap masalah, padahal yang kita butuhkan adalah sedikit jeda untuk menenangkan diri dan memikirkan langkah yang lebih bijaksana. Moderasi dalam hidup, termasuk dalam pergaulan dan hubungan, bisa bantu kita menghadapi masalah dengan lebih baik.”
Adit mulai mengangguk, seolah pelajaran dari cerita Fira mulai masuk akal. “Gue paham sekarang. Mungkin gue emang perlu sedikit waktu buat tenang. Jangan langsung emosional.”
Fira tersenyum. “Betul. Sultan Hasanuddin berhasil menjaga perdamaian dengan banyak kerajaan justru karena dia tahu kapan harus bertindak dan kapan harus menahan diri. Dan lo juga bisa belajar dari itu.”
Zaki menambahkan, “Trivia buat lo, Dit. Sultan Hasanuddin itu terkenal bukan cuma karena perangnya, tapi juga karena dia pinter jaga hubungan sama kerajaan lain. Bahkan di tengah konflik besar, dia masih bisa cari jalan untuk berdamai kalau memungkinkan.”
Adit tersenyum kecil. “Oke, gue dapet poinnya. Moderasi. Nggak harus semua hal dibawa serius atau emosional.”
Fira mengangguk dengan puas. “Itu dia. Kadang, kita bisa belajar banyak dari masa lalu untuk menghadapi hidup yang sekarang.”
Zaki, yang sudah semakin terlibat dalam cerita, menatap Fira dengan penasaran. “Oke, Fir, tadi lo cerita soal Sultan Hasanuddin. Sekarang gimana soal Bone? Gue pernah dengar tentang Arung Palakka, tapi apa sih yang bikin dia begitu terkenal?”
Fira tersenyum kecil, merasa senang karena cerita ini sudah mulai menarik perhatian mereka. “Bone adalah kerajaan yang dikenal karena ketegasannya dalam menjalankan hukum dan keadilannya. Arung Palakka adalah salah satu pemimpin besar dari Bone yang terkenal memperjuangkan keadilan di masa ketika rakyatnya mengalami banyak tekanan, termasuk dari penjajahan. Dia tahu bahwa keadilan adalah fondasi yang harus dijaga, dan itu berlaku bukan hanya untuk pemerintahan, tapi juga untuk seluruh masyarakat Bone.”
Zaki mengangguk. “Keadilan, ya. Tapi gimana hubungannya sama kita?”
Fira menatap Zaki dengan penuh arti. “Dalam pertemanan, keadilan itu juga penting, Zaki. Kayak waktu lo cerita soal turnamen e-sport yang lo kalah kemarin. Lo bilang udah kerja keras tapi tim lo tetap kalah, dan lo merasa nggak adil.”
Zaki menunduk sedikit, merasa ada sesuatu yang dipetik dari ucapan Fira. “Iya, gue fokus banget sama menangnya, jadi gue ngerasa ngga adil buat diri gue sendiri dan mungkin juga buat tim gue.”
Fira melanjutkan, “Nah, mungkin yang lo rasa bukan cuma soal kekalahan, tapi tentang gimana lo memperlakukan tim lo. Terkadang, kita terlalu fokus sama hasil akhir—kemenangan, pencapaian—sampai lupa kalau keadilan dalam tim itu juga berarti menghargai usaha orang lain. Lo adil nggak sama mereka? Lo udah ngasih apresiasi buat kerja keras mereka atau lo cuma mikirin kemenangan lo?”
Zaki terdiam. Perlahan, ia mulai memahami maksud Fira. “Mungkin gue terlalu keras sama diri gue dan terlalu fokus ke hasil akhir, ya.”
“Exactly,” Fira menimpali dengan lembut. “Keadilan dalam pertemanan atau dalam tim itu bukan soal siapa yang menang atau kalah, tapi soal gimana kita menghargai satu sama lain. Arung Palakka memperjuangkan keadilan bukan cuma untuk dirinya sendiri, tapi juga buat rakyatnya. Dia tahu kalau setiap orang punya peran penting, dan itu yang bikin kerajaannya kuat. Sama kayak dalam persahabatan atau tim—kita harus saling mendukung, saling menghargai.”
Adit yang dari tadi mendengarkan, ikut angkat bicara. “Gue rasa itu juga bisa diterapin di masalah gue. Selama ini gue cuma mikirin masalah gue sendiri, padahal teman-teman gue mungkin juga lagi ngalamin hal yang sama, atau bahkan lebih berat.”
Zaki tersenyum tipis, menyadari betapa banyak pelajaran yang ia dapat dari obrolan ini. “Bener juga. Gue harus lebih menghargai teman-teman gue, nggak cuma fokus sama menangnya. Mungkin selama ini gue terlalu mikirin diri sendiri.”
Fira mengangguk penuh semangat. “Persis. Sama kayak di Bone, keadilan dalam pertemanan itu tentang jujur, transparan, dan saling mendukung. Kalau kita bisa adil satu sama lain, kita bisa bertahan menghadapi apapun, bahkan kekalahan.”
Zaki menatap Adit dan Fira, merasa lebih tenang. “Makasih, Fir. Gue ngerti sekarang. Mungkin gue bisa lebih baik ke tim gue ke depannya, dan nggak cuma ngejar hasil.”
Adit menambahkan, “Gue juga belajar banyak. Ternyata dari cerita masa lalu, kita bisa dapet pelajaran buat gimana bersikap sekarang.”
Fira tersenyum puas, merasa lega bahwa obrolan ini membawa dampak positif. “Terkadang, kita hanya perlu berhenti sejenak dan melihat bagaimana orang-orang besar di masa lalu menghadapi tantangan mereka. Dari situ, kita bisa belajar buat ngadepin masalah kita sendiri.”
Adit, yang sejak awal skeptis dengan cerita sejarah, kini mulai menunjukkan minatnya. Ia memandang Fira dan berkata, “Oke, lo cerita soal Goa-Tallo dan Bone, tapi gimana dengan Luwu? Gue dengar Luwu juga penting, kan?”
Fira tersenyum, senang melihat Adit akhirnya ikut terlibat. “Luwu itu punya sejarah yang menarik, Dit. Luwu adalah kerajaan Islam pertama di Sulawesi. Tapi yang bikin Luwu istimewa bukan cuma karena mereka memeluk Islam secara damai, tapi juga karena mereka bisa hidup harmonis dengan alam dan tradisi lokal.”
Zaki mengernyitkan dahi. “Maksud lo, harmonis gimana?”
Fira menatap kedua sahabatnya, mencoba menjelaskan dengan lebih sederhana. “Di Luwu, mereka nggak hanya sekadar menerima ajaran Islam, tapi mereka juga menggabungkannya dengan kebiasaan dan tradisi lokal. Mereka tetap menjaga hubungan yang erat dengan alam. Di sana, spiritualitas itu nggak cuma tentang ibadah formal, tapi juga tentang bagaimana mereka menjaga keseimbangan dengan lingkungan dan sesama manusia.”
Adit mulai tertarik, meski masih sedikit bingung. “Jadi, mereka hidup lebih tenang karena harmoni itu?”
“Benar,” Fira menjawab sambil mengangguk. “Mereka nggak terlalu memaksakan diri. Mereka mengajarkan bahwa penting untuk hidup dalam keseimbangan, antara ambisi dan istirahat. Luwu itu seperti contoh dari bagaimana kita seharusnya menghadapi hidup. Kadang kita terlalu sibuk ngejar sesuatu—kayak lo, Dit, yang ngejar hubungan lo, atau Zaki yang terlalu fokus ke turnamen—sampai lupa bahwa kita juga perlu istirahat dan menjaga diri sendiri.”
Zaki mengangguk, mulai memahami arah pembicaraan. “Lo bener, Fir. Gue selama ini cuma mikirin kemenangan, gue lupa ngasih waktu buat diri gue sendiri buat rehat. Gue terlalu keras sama diri gue.”
Adit, yang sebelumnya terjebak dalam masalahnya sendiri, mulai merenung. “Iya, gue juga. Gue terlalu sibuk mikirin kenapa hubungan gue berantakan, sampai gue lupa buat kasih ruang buat diri gue sendiri buat healing.”
Fira tersenyum, lega karena kedua sahabatnya mulai menangkap pesan yang ia coba sampaikan. “Seperti Luwu, kita juga butuh keseimbangan antara ambisi dan istirahat. Lo bisa ngejar impian lo, tapi jangan lupa buat kasih ruang buat diri lo sendiri buat bernafas. Sama kayak di Luwu, mereka paham pentingnya hidup selaras dengan alam, dan kita juga harus hidup selaras dengan diri kita sendiri.”
Zaki menambahkan, “Jadi, kita nggak perlu terus-terusan push diri sendiri, ya? Harus ada waktu buat tarik napas, buat refleksi.”
Adit tersenyum kecil, terlihat lebih rileks sekarang. “Gue rasa itu yang gue butuhin. Lebih banyak kasih waktu buat diri gue sendiri.”
Fira mengangguk setuju. “Iya, Dit. Seperti di Luwu, mereka hidup dengan prinsip keseimbangan. Mereka nggak memaksakan diri, tapi tetap punya tujuan. Dan itu pelajaran penting buat kita semua.”
Mereka bertiga terdiam sesaat, meresapi pelajaran yang baru saja mereka dapat dari cerita tentang Luwu. Di tengah obrolan tentang sejarah, mereka menyadari bahwa penting untuk memberi ruang bagi diri sendiri, membiarkan diri beristirahat, dan menemukan keseimbangan antara ambisi dan ketenangan.
“Kadang,” kata Fira akhirnya, “kita cuma butuh berhenti sebentar, menarik napas, dan menemukan harmoni—seperti yang diajarkan Luwu.”
Setelah obrolan panjang yang penuh dengan kisah-kisah dari masa lalu, suasana di antara mereka bertiga mulai terasa lebih ringan. Adit menatap kopinya, lalu menatap kedua sahabatnya dengan senyum kecil. “Gue pikir, selama ini gue terlalu keras sama diri gue. Gue terlalu mikirin kegagalan hubungan gue sama Rania, padahal mungkin yang gue butuhin sekarang adalah waktu buat diri sendiri.”
Zaki, yang biasanya selalu sibuk dengan turnamennya, mengangguk setuju. “Gue juga, Dit. Gue sadar sekarang kalau gue selama ini cuma mikirin menang, menang, dan menang. Tapi gue lupa kalau tim gue itu juga manusia, mereka juga berjuang. Gue harus lebih adil sama mereka, dan sama diri gue sendiri.”
Fira tersenyum, merasa lega melihat perubahan pada kedua sahabatnya. “Itulah yang gue coba sampaikan tadi. Kadang kita terlalu fokus sama masalah kita sendiri, tapi kalau kita mau lihat dari perspektif lain, selalu ada pelajaran yang bisa diambil. Nggak harus selalu dari pengalaman kita sendiri, bahkan dari sejarah kerajaan-kerajaan di Sulawesi pun kita bisa belajar.”
Adit meneguk kopinya, kini tampak lebih tenang. “Gue nggak nyangka cerita-cerita tentang Goa-Tallo, Bone, dan Luwu bisa ngasih perspektif baru ke kita. Gue pikir itu cuma bagian dari pelajaran sejarah yang biasa-biasa aja.”
“Sejarah bukan cuma ada di buku, Dit. Kita bisa ambil pelajaran dari masa lalu untuk membantu kita menghadapi masalah sekarang. Semua yang terjadi dulu bisa relevan dengan hidup kita hari ini,” jawab Fira sambil tersenyum hangat.
Zaki menepuk bahu Adit. “Setuju. Gue rasa, setelah ini kita semua bisa lebih bijak menghadapi masalah kita masing-masing. Dan kayak yang Fira bilang, kita nggak harus menghadapi semuanya sendiri. Ada teman-teman yang selalu bisa bantu, selama kita terbuka dan adil dalam pertemanan.”
Adit tertawa kecil. “Iya, lo bener. Kadang kita lupa kalau kita punya teman yang bisa jadi pendukung, bahkan dalam hal-hal yang kelihatannya nggak nyambung kayak tadi, sejarah.”
Fira mengangkat gelasnya, mengajak kedua temannya bersulang. “Untuk persahabatan, dan untuk pelajaran dari masa lalu.”
Adit dan Zaki tersenyum lebar, mengangkat gelas mereka dan bersulang bersama. Dengan obrolan yang terasa begitu ringan namun penuh makna, mereka merasa bahwa hubungan persahabatan mereka semakin kuat. Masalah yang tadi terasa berat kini lebih ringan karena perspektif baru yang mereka dapatkan.
Percakapan berlanjut dengan canda tawa, obrolan tentang hal-hal ringan, dan tentunya, secangkir kopi hangat di tangan masing-masing. Sore itu, di kafe kecil di sudut kota Makassar, mereka bertiga menyadari bahwa pelajaran hidup bisa datang dari mana saja—bahkan dari sejarah kerajaan-kerajaan tua yang pernah berjaya di tanah Sulawesi.