Ilustrasi berwarna dari sebuah masjid dengan kubah besar di atasnya. Masjid ini memiliki arsitektur tradisional dengan detail rumit, termasuk serangkaian lengkungan di pintu masuk yang didukung oleh tiang-tiang. Di sekeliling masjid terdapat pagar rendah. Di latar depan, terlihat beberapa orang dan anak-anak yang sedang berkumpul, menunjukkan suasana yang ramai. Langit di atas masjid dipenuhi awan, menambah kesan dramatis pada gambar.

Kompas Sejarah Dalam Mencari Jati Diri

Cerpen & Sastra Materi Pembelajaran
Butuh waktu sekitar 11 menit untuk membaca tulisan ini

Langit Ternate senja itu tampak berwarna oranye keemasan, tetapi bagi Rayhan, warnanya sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Ia duduk di pinggir dermaga, kaki menjuntai ke bawah, membiarkan angin laut membawa dingin yang sedikit menenangkan pikirannya. Di depannya, kapal-kapal besar berlabuh, sebagian baru saja tiba, membawa rempah-rempah dari jauh, seperti yang selalu dilakukan sejak berabad-abad lalu.

Rayhan menghela napas panjang. Sejak kecil, ia terbiasa bekerja di pelabuhan. Membantu ayahnya mengangkat barang-barang dari kapal dan membawanya ke pasar. Pekerjaan itu menghabiskan waktunya, mengunci dirinya dalam rutinitas yang menjemukan. Di umur 17 tahun, ia merasa hidupnya tak punya arah. Setiap hari selalu sama—bangun pagi, membantu ayahnya di pelabuhan, lalu tidur dalam kelelahan. Mimpi-mimpinya tentang masa depan perlahan pudar.

“Ray, kau terlihat kacau,” suara Zahra membuyarkan lamunannya.

Rayhan menoleh. Zahra, temannya sejak kecil, datang dengan senyum khasnya. Dia mengenakan hijab biru langit, rapi seperti biasanya, dan membawa kantong kain yang penuh dengan rempah dari tokonya. Zahra berasal dari keluarga pedagang rempah yang sudah turun-temurun menjalankan bisnis keluarga mereka. Hidupnya selalu tampak terencana dan terarah, berbeda jauh dengan Rayhan yang merasa hidupnya hanya berjalan tanpa tujuan.

Faris, teman mereka yang lain, ikut bergabung. Anak seorang guru agama, Faris sering kali menjadi pengingat bagi Rayhan untuk tidak melupakan ajaran-ajaran Islam yang diajarkan keluarganya. Tetapi bagi Rayhan, semua itu terasa semakin jauh dari hidupnya sekarang. Sejarah, agama—semua itu tampak seperti cerita lama yang tak lagi punya arti dalam kenyataan sehari-hari.

“Apa gunanya memikirkan masa lalu? Ternate mungkin pernah jadi kerajaan besar, tapi itu dulu,” gumam Rayhan sambil memandang laut. “Sekarang? Kita hanya kota kecil di pinggiran.”

Faris, yang biasanya tenang, tersenyum tipis. “Ray, justru sejarah kita yang membuat kita punya identitas. Ternate itu bukan sekadar kota kecil. Kerajaan Ternate dulu itu pusat perdagangan terbesar di Maluku. Kamu tahu, Sultan Baabullah bahkan disebut ‘Penguasa 72 Pulau’. Dia yang memimpin perlawanan melawan Portugis dan mengusir mereka dari tanah ini. Apa yang kamu lihat sekarang, pelabuhan, rempah-rempah, semua ini ada karena sejarah.”

Rayhan mendengus. “Ya, tapi itu dulu, Ris. Sekarang apa? Kita tetap saja di sini, di pelabuhan, menjalani hidup yang sama, tak ada yang berubah.”

Zahra menyela, “Ray, bukan cuma tentang masa lalu. Kita bisa belajar dari mereka. Baabullah berjuang bukan hanya untuk menang perang, tapi juga untuk menjaga ajaran Islam di sini. Dulu Maluku adalah pusat penyebaran Islam di Nusantara. Sultan-sultan kita punya peran besar dalam menjaga nilai-nilai itu.”

Rayhan terdiam. Dia tahu Zahra dan Faris benar, tapi sulit baginya untuk melihat bagaimana sejarah bisa membantu kehidupannya yang sekarang terasa tanpa arah. Baginya, sejarah hanya cerita-cerita yang diceritakan orang tua dan guru, hal-hal yang tidak relevan dengan tekanan hidupnya sekarang.

“Kamu tahu nggak, Ray?” kata Zahra pelan. “Dulu, rempah-rempah dari Maluku dianggap lebih berharga daripada emas di Eropa. Ternate, Tidore, Bacan, semuanya punya peran besar dalam perdagangan dunia. Itulah kenapa kerajaan-kerajaan ini menjadi sangat kuat dan penting. Mereka bukan hanya pahlawan dalam perang, tapi juga penjaga nilai-nilai agama dan budaya kita.”

Rayhan hanya mengangguk pelan, matanya tetap menatap laut yang tenang. Fakta-fakta itu terasa jauh. Mereka memang menarik, tapi ia tidak bisa menemukan tempatnya di antara cerita-cerita itu.

Faris menepuk bahunya. “Kau tahu, Ray, kita semua punya peran. Mungkin sekarang kau merasa hidupmu membosankan, penuh tekanan. Tapi ingatlah, bahkan para sultan kita dulu harus melalui tantangan yang besar. Mereka tidak langsung menjadi besar. Mereka berjuang, dan dari perjuangan itu, mereka menemukan tujuan.”

Rayhan terdiam. Ia tahu kata-kata Faris dan Zahra benar, tetapi ada rasa enggan dalam dirinya untuk menerima itu. Semua terasa terlalu besar, terlalu jauh dari hidupnya yang sederhana.

Matahari perlahan tenggelam di balik horizon. Angin malam mulai berhembus lebih dingin. Zahra berdiri, mengangkat kantong rempahnya. “Ray, ayo pulang. Besok masih ada hari yang panjang.”

Rayhan mengangguk, bangkit berdiri. Tapi dalam hatinya, percakapan tadi mulai menggugah sesuatu. Mungkin, hanya mungkin, ada yang bisa dipelajari dari masa lalu. Dari para sultan yang berjuang untuk sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Ia melangkah mengikuti Zahra dan Faris, meninggalkan dermaga yang kini mulai sepi. Di bawah langit yang penuh bintang, Rayhan merasa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, bahwa hidupnya mungkin memiliki arah yang belum ia temukan. Arah yang mungkin telah lama ada, tersembunyi dalam sejarah dan cerita masa lalu.

*****

Suatu hari, setelah pulang dari pelabuhan, Rayhan, Zahra, dan Faris memutuskan untuk mampir ke warung kopi kecil di tepi pantai. Di sana, mereka bertemu dengan Pak Mahmud, seorang sejarawan lokal yang sering berbicara tentang sejarah Ternate. Pak Mahmud adalah pria paruh baya dengan jenggot putih tipis dan kacamata bulat, senyumnya ramah, dan ia selalu antusias berbagi cerita sejarah kepada siapa saja yang mau mendengarkan.

“Kalian tahu,” kata Pak Mahmud sambil mengaduk kopinya, “Ternate ini bukan sekadar pulau kecil dengan pelabuhan ramai. Di masa lalu, Ternate adalah pusat perlawanan terbesar di Maluku, terutama ketika Sultan Baabullah berkuasa.”

Baca juga :  KI-KD dan Materi Ushul Fikih X MA ~ KMA. 183 Tahun 2019

Rayhan, yang sebelumnya tampak tak tertarik, mendadak mendongak. Nama Sultan Baabullah sudah sering ia dengar, tapi hanya sebatas nama pahlawan dalam buku pelajaran. Kali ini, ada sesuatu dalam cara Pak Mahmud menyebutnya yang membuat Rayhan penasaran.

“Baabullah?” tanya Rayhan dengan ragu, “Apa hebatnya dia? Kenapa semua orang selalu membicarakannya?”

Pak Mahmud tersenyum lebar, seolah menunggu pertanyaan itu. “Ah, Rayhan, Sultan Baabullah adalah salah satu tokoh paling penting dalam sejarah kita. Dia bukan hanya seorang raja, tapi juga pemimpin yang berhasil mengusir Portugis dari Ternate.”

Zahra dan Faris ikut menyimak, sementara Pak Mahmud melanjutkan ceritanya. “Pada tahun 1570, ayahnya, Sultan Khairun, dibunuh secara licik oleh Portugis yang mencoba menguasai Ternate. Baabullah, yang saat itu baru saja naik takhta, bersumpah untuk membalas dendam. Tapi bukan dengan kekerasan semata. Dia menggunakan strategi cerdas—mengumpulkan kekuatan dari seluruh kerajaan di Maluku dan membangun aliansi dengan kerajaan Islam lainnya di Nusantara. Dia bahkan menutup semua akses laut bagi Portugis hingga mereka kelaparan.”

Rayhan terdiam, terpukau oleh cerita itu. Gambar di benaknya tentang Baabullah mulai berubah—bukan lagi sekadar pahlawan dalam buku, tapi sosok pemimpin yang berani dan bijaksana.

Pak Mahmud menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menatap jauh ke arah laut. “Sultan Baabullah tak hanya berperang untuk membalas dendam. Dia juga memastikan bahwa Islam tumbuh kuat di Ternate, tapi dengan cara yang damai dan moderat. Dia menghormati budaya setempat, dan memerintah dengan keadilan. Tidak seperti Portugis yang memaksa agama mereka, Baabullah menyebarkan Islam dengan penuh rasa hormat.”

“Jadi,” sambung Zahra, “dia bukan hanya sultan yang pandai berperang?”

“Betul,” jawab Pak Mahmud sambil tersenyum. “Dia dikenal sebagai ‘Penguasa 72 Pulau’. Bayangkan, Ternate kecil ini memiliki pengaruh sampai ke 72 pulau di sekitar Maluku. Dan semua itu karena strategi kepemimpinannya yang hebat.”

Rayhan memandang jauh ke arah cakrawala. Cerita tentang Baabullah mulai membuatnya berpikir lebih dalam tentang kehidupannya sendiri. Jika seorang sultan bisa memimpin dengan bijaksana di tengah tantangan sebesar itu, apakah mungkin ada pelajaran yang bisa ia ambil untuk kehidupannya? Apakah mungkin sejarah benar-benar bisa memberinya panduan untuk menemukan jalan dalam hidup yang kini terasa begitu kosong?

Pak Mahmud melanjutkan ceritanya, “Tapi ingat, meski Baabullah berhasil mengusir Portugis dan membawa kejayaan bagi Ternate, dia tetap rendah hati. Setelah kemenangannya, dia tidak menggunakan kekuatan militernya untuk menaklukkan wilayah lain. Sebaliknya, dia fokus memperkuat nilai-nilai agama dan menjaga perdamaian.”

“Kita bisa belajar banyak dari dia,” tambah Faris, seolah mengingatkan Rayhan. “Dia tidak hanya menang dengan senjata, tapi juga dengan hati.”

Rayhan tak berkata apa-apa, tapi di dalam hatinya, benih rasa ingin tahu mulai tumbuh. Mungkin, sejarah ini lebih dari sekadar masa lalu. Mungkin, di balik kisah-kisah itu, ada petunjuk yang bisa membantunya menemukan tujuan di tengah kebingungan hidupnya.

*****

Rayhan berjalan di sepanjang dermaga dengan langkah pelan. Pikirannya masih dipenuhi oleh cerita Pak Mahmud tentang Sultan Baabullah. Mungkinkah nilai-nilai dari masa lalu seperti itu masih relevan dengan kehidupannya sekarang? Dalam hati, ia merasa jauh dari perjuangan besar seperti yang dialami para sultan. Hidupnya hanyalah serangkaian pekerjaan rutin di pelabuhan, membantu ayahnya dan memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak ada keberanian atau kepemimpinan seperti yang dimiliki Baabullah.

Namun, di sisi lain, ada bagian kecil dalam dirinya yang mulai mempertanyakan segalanya. Apakah hidup hanya tentang rutinitas, atau ada yang lebih dari itu? Apakah mungkin ada kekuatan dalam sejarah yang bisa ia ambil sebagai inspirasi?

“Kau kelihatan mikir berat, Ray,” ujar Zahra, yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Mereka tengah menuju Tidore untuk menghadiri sebuah perayaan adat yang diadakan malam itu. Faris sudah menunggu di sana, dan Zahra tampak bersemangat tentang acara tersebut.

Rayhan hanya mengangguk. “Aku cuma… berpikir soal Baabullah. Kau rasa itu semua masih ada hubungannya dengan hidup kita sekarang?”

Zahra tersenyum, seolah mengerti kebingungan yang dirasakan temannya. “Tentu saja masih relevan. Baabullah bukan cuma soal berperang, tapi soal memimpin dengan hati, menjaga nilai-nilai Islam tanpa memaksakan. Tapi kalau kau masih ragu, mungkin kau akan belajar lebih banyak malam ini di Tidore.”

Malam itu, perayaan adat di Tidore dipenuhi suara musik tradisional dan tawa riang penduduk. Di sana, Rayhan, Zahra, dan Faris duduk di pinggir kerumunan sambil menikmati suasana. Faris tampak lebih banyak diam, sementara Zahra sibuk mengamati jalannya acara. Di tengah-tengah perayaan, seorang tetua adat mulai bercerita tentang Sultan Nuku, sultan terkenal dari Tidore yang memimpin perlawanan melawan Belanda pada akhir abad ke-18.

“Ketika Belanda mulai mencoba menguasai Maluku, Sultan Nuku tak tinggal diam,” suara sang tetua menggema di malam yang tenang. “Tapi, Nuku tahu bahwa hanya dengan kekuatan fisik saja, mereka tak akan bisa menang. Dia menggunakan strategi, diplomasi, dan persatuan untuk melawan penjajah. Nuku berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan di Maluku untuk melawan Belanda. Dan bukan hanya itu, ia pun dikenal sebagai pemimpin yang memperlakukan rakyatnya dengan adil, terlepas dari perbedaan mereka.”

Rayhan tertegun mendengarkan. Sultan Nuku tidak hanya kuat dalam berperang, tetapi juga cerdas dalam berstrategi dan membangun aliansi. Di dalam dirinya, Rayhan mulai bertanya-tanya apakah mungkin kepemimpinan seperti ini bisa diaplikasikan ke hidupnya. Namun, ia masih merasa jauh dari figur seorang pemimpin. Bagaimana mungkin seseorang yang hanya bekerja di pelabuhan bisa belajar dari seorang sultan?

Baca juga :  Utsman bin Affan: Dzunnurain yang Hartanya Masih Bermanfaat Hingga Kini

Setelah perayaan usai, mereka bertiga duduk di tepi pantai. Angin malam yang sejuk membuat suasana lebih tenang. Zahra, yang sejak awal tampak terinspirasi, memulai percakapan.

“Ray, kau tahu, Nuku adalah bukti bahwa kekuatan itu tidak selalu tentang fisik. Kepemimpinan juga tentang strategi dan keteguhan. Sejarah kita penuh dengan contoh pemimpin yang tak hanya memimpin dengan kekerasan, tapi juga dengan kecerdasan,” ujar Zahra, matanya menatap Rayhan penuh harap.

Faris, yang biasanya pendiam, ikut angkat bicara. “Nuku itu paham betul bahwa diplomasi bisa lebih kuat dari pedang. Dia tahu kapan harus melawan, dan kapan harus mencari sekutu. Kita bisa banyak belajar dari cara dia berpikir. Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan kekuatan. Kadang, strategi dan keberanian dalam mengambil keputusan itu yang lebih penting.”

Rayhan diam sejenak, membiarkan kata-kata teman-temannya meresap. Ia melihat ke arah laut yang gelap, merasa seperti sedang terombang-ambing di tengah lautan pikirannya sendiri. Apa yang dikatakan Zahra dan Faris terdengar masuk akal, tapi menghubungkannya dengan kehidupannya sehari-hari terasa sulit.

“Aku paham maksud kalian,” kata Rayhan akhirnya, suaranya pelan. “Tapi itu Sultan Nuku. Dia seorang pemimpin besar. Bagaimana mungkin aku yang hanya bekerja di pelabuhan bisa menemukan pelajaran dari sejarahnya?”

Zahra menatapnya dengan lembut. “Ray, semua orang bisa jadi pemimpin dalam hidupnya sendiri. Kepemimpinan bukan soal takhta atau perang, tapi soal bagaimana kau menghadapi tantangan yang datang. Nuku, Baabullah—mereka juga memulai dari tempat yang sulit. Mereka harus membuat pilihan-pilihan besar untuk memperjuangkan apa yang mereka yakini. Kau bisa belajar dari itu.”

Faris mengangguk setuju. “Mungkin kau belum melihatnya sekarang, tapi setiap kita punya peran. Sejarah kita bukan sekadar cerita lama. Ini bisa jadi cermin untuk hidup kita sekarang.”

Rayhan kembali terdiam. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa mungkin ada kebenaran dalam kata-kata mereka. Namun, bagaimana cara menemukan koneksi antara kisah-kisah besar para sultan dengan kehidupannya yang sederhana, masih menjadi misteri. Tapi satu hal mulai jelas: mungkin, ia bisa belajar lebih banyak dari sejarah untuk membentuk masa depannya sendiri.

*****

Malam di Bacan terasa begitu tenang, berbeda dari hiruk-pikuk pelabuhan Ternate yang selama ini Rayhan kenal. Di bawah langit yang penuh bintang, Rayhan, Zahra, dan Faris berjalan menuju sebuah masjid kecil di tengah pulau, tempat mereka akan bertemu dengan Kiai Ahmad. Masjid itu tampak sederhana, tapi ada sesuatu yang begitu damai di sekitarnya, seolah-olah waktu bergerak lebih lambat di sini.

Sesampainya di sana, Kiai Ahmad menyambut mereka dengan senyum hangat, mengenakan jubah putih yang bersih dan serban yang melingkar rapi di kepalanya. “Selamat datang di Bacan, anak-anak muda,” katanya dengan suara lembut namun penuh kebijaksanaan. “Apa yang bisa saya bantu?”

Zahra menjelaskan maksud kedatangan mereka—untuk belajar lebih dalam tentang sejarah Islam di Maluku, khususnya di Bacan. Rayhan mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun masih ada keraguan di hatinya. Apa relevansinya bagi hidupnya yang sekarang?

Kiai Ahmad mengajak mereka duduk di halaman masjid yang dikelilingi pepohonan rindang. Ia mulai bercerita tentang masa lalu, tentang sultan-sultan Bacan yang memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di wilayah ini. Bukan dengan kekuatan atau kekerasan, tetapi dengan kebaikan hati dan moderasi.

“Islam datang ke Bacan melalui para pedagang dan ulama, tetapi yang membuatnya bertahan adalah cara para sultan kita memimpin,” ujar Kiai Ahmad sambil menatap lembut ke arah mereka. “Mereka menyebarkan ajaran agama dengan cara yang damai, mengajak masyarakat untuk mengenal Islam melalui contoh, bukan paksaan. Sultan-sultan Bacan selalu menjaga hubungan baik dengan kerajaan Islam lainnya di Nusantara. Mereka percaya bahwa kekuatan sejati ada dalam persatuan dan perdamaian.”

Rayhan mulai tersentuh oleh cerita itu. Ia membayangkan bagaimana sultan-sultan dulu menjalani hidup mereka, menghadapi tantangan, tetapi tetap memegang teguh prinsip-prinsip kebaikan. Sesuatu yang sepertinya begitu jauh dari kehidupannya yang kini terasa penuh tekanan dan kebingungan.

“Mungkin kamu tidak menyadarinya, Rayhan,” lanjut Kiai Ahmad, “tapi apa yang terjadi dulu di Bacan masih ada dampaknya hingga hari ini. Islam di Maluku, khususnya di sini, tetap bertahan karena dasar yang diletakkan oleh para sultan. Mereka menunjukkan bahwa Islam bisa hidup berdampingan dengan budaya lokal, dengan menjaga kearifan dan menghormati perbedaan.”

Rayhan merenung. Apa yang dikatakan Kiai Ahmad mulai masuk akal baginya. Sultan-sultan Bacan tidak hanya menjaga wilayah mereka, tapi juga menanamkan nilai-nilai yang lebih besar—persatuan, kedamaian, dan keadilan. Nilai-nilai itu terasa begitu sederhana, namun kuat.

“Jadi, kepemimpinan mereka bukan cuma soal takhta atau perang?” tanya Rayhan, ingin memastikan apa yang mulai ia pahami.

Kiai Ahmad mengangguk. “Benar. Mereka memimpin dengan hati. Sultan Bacan selalu mengutamakan kesejahteraan rakyat dan menjalin hubungan baik dengan kerajaan lain. Mereka tahu, kekuatan terbesar ada pada persatuan, bukan perpecahan. Itulah yang membuat Islam di sini tumbuh dengan damai.”

Zahra, yang sejak tadi mendengarkan dengan seksama, tersenyum ke arah Rayhan. “Lihat? Bukan soal besar atau kecilnya tantangan. Mereka mengajarkan kita bahwa memimpin itu soal memberi contoh, soal menjaga nilai-nilai baik, tak peduli seberapa sulit hidup ini.”

Baca juga :  Obrolan Di Kafe Benteng Somba

Rayhan mulai merasakan sesuatu yang berbeda dalam hatinya. Ia selama ini merasa hidupnya tidak memiliki arah, terjebak dalam rutinitas yang tak memberikan makna. Tetapi sekarang, melalui cerita-cerita ini, ia mulai melihat bahwa mungkin ia juga bisa memimpin dirinya sendiri, mengambil inspirasi dari masa lalu untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna.

“Kadang kita merasa hidup kita terlalu kecil untuk dipengaruhi oleh sejarah,” ujar Faris tiba-tiba, “tapi kiai benar. Bacan bukan kerajaan terbesar, tapi cara mereka menjaga kedamaian dan menyebarkan Islam membuat mereka besar dengan caranya sendiri.”

Rayhan mengangguk pelan, seolah mulai mengerti. Ia mungkin bukan seorang sultan, tetapi ia bisa mengambil pelajaran dari para pemimpin yang telah mendahuluinya. Ia bisa memulai dari hal kecil, dari keseharian, dari cara ia memandang dunia.

Kiai Ahmad tersenyum. “Hidup adalah perjalanan, Nak. Para sultan kita dulu menghadapi perjalanan mereka dengan teguh, dan kau pun bisa menghadapi perjalananmu sendiri dengan keteguhan yang sama. Tidak perlu menjadi besar untuk membuat perubahan—cukup menjadi baik, dan dunia di sekitarmu akan berubah.”

Malam itu, di bawah bintang-bintang Bacan, Rayhan merasakan sebuah perubahan kecil tapi bermakna dalam dirinya. Sejarah bukan lagi hanya tentang masa lalu yang jauh dan tak terjangkau. Itu adalah cermin bagi dirinya, dan bagi jalan yang akan ia tempuh ke depan.

*****

Setelah perjalanan ke Bacan, ada sesuatu yang berubah dalam diri Rayhan. Saat kembali ke pelabuhan, ia melihat tempat itu dengan sudut pandang yang berbeda. Suara keras kapal yang datang dan pergi, debu yang beterbangan, serta beban berat yang harus ia angkat tak lagi terasa sebagai sesuatu yang mengekang. Pekerjaan ini bukan sekadar rutinitas, tetapi bagian dari tanggung jawab yang ia emban. Seperti para sultan di masa lalu yang memimpin dengan keadilan dan rasa tanggung jawab terhadap rakyatnya, Rayhan mulai merasakan semangat yang sama.

Di pelabuhan, Rayhan berdiri di bawah terik matahari, mengangkat karung-karung barang dengan tangan yang lebih kuat dari sebelumnya. Namun, kali ini ada perbedaan. Ia tidak lagi merasa terbebani, tetapi merasa bangga bisa membantu keluarganya. Ia ingat bagaimana Sultan Baabullah memimpin dengan adil, tidak pernah menganggap rendah tugas yang diemban demi kesejahteraan rakyatnya. Dalam benaknya, ia mulai melihat pekerjaannya bukan sebagai sebuah kewajiban semata, tetapi sebuah kontribusi.

Setiap kali Rayhan merasa lelah, ia teringat bagaimana Sultan Nuku dari Tidore menggunakan kecerdasan dan diplomasi dalam perjuangannya melawan Belanda. Nuku tidak hanya berperang secara fisik, tapi juga dengan pikiran yang strategis. Rayhan mulai mengaitkan hal ini dengan hidupnya. Mungkin tantangannya saat ini tak sebesar pertempuran melawan penjajah, tetapi ia tahu bahwa ia harus cerdas dalam menghadapi hidup, membuat keputusan yang baik, dan terus bergerak maju.

Setiap malam, Rayhan mulai belajar lebih banyak tentang Islam, bukan karena tuntutan keluarga atau masyarakat, tapi karena ia menemukan bahwa ajaran-ajaran itu bisa menjadi kompas dalam hidupnya. Ia membaca tentang cara para sultan Maluku menjaga perdamaian, tentang moderasi dalam memimpin dan dalam beragama. Islam bukan lagi hanya ritual yang kaku bagi Rayhan, melainkan pedoman hidup yang penuh makna, sesuatu yang bisa membantunya menghadapi tantangan masa kini dengan bijaksana.

Perlahan, ia merasa bahwa masa lalu yang diceritakan Kiai Ahmad di Bacan bukan sekadar sejarah lama yang usang. Para sultan seperti Baabullah, Nuku, dan sultan-sultan Bacan bukan hanya nama-nama dalam buku, tetapi contoh nyata dari kepemimpinan yang moderat, bijaksana, dan berani. Mereka adalah simbol dari nilai-nilai yang masih relevan hingga sekarang. Nilai-nilai tentang tanggung jawab, keberanian dalam mengambil keputusan, dan keadilan dalam memimpin.

*****

Di suatu senja, Rayhan duduk di tepi dermaga, memandang kapal-kapal yang bergerak di kejauhan. Angin laut yang sejuk menyapu wajahnya. Di dalam hatinya, ada rasa damai yang perlahan tumbuh. Ia tersenyum sendiri, mengingat perjalanannya ke Bacan dan cerita-cerita yang telah membangunkan kesadarannya. Sejarah ternyata bukan sekadar masa lalu yang tidak relevan dengan hidupnya. Melalui perjalanan para sultan di Maluku, ia belajar bahwa masa lalu bisa menjadi panduan, pelajaran yang memberikan kekuatan untuk menjalani hari-hari yang penuh tantangan.

Ia teringat bagaimana Sultan Baabullah memimpin dengan keberanian dan keadilan. Bagaimana Sultan Nuku berhasil menggunakan diplomasi untuk melawan musuh yang jauh lebih kuat. Dan bagaimana sultan-sultan Bacan menyebarkan Islam dengan cara yang damai, tanpa kekerasan. Nilai-nilai itulah yang kini menjadi fondasi bagi Rayhan untuk menjalani hidupnya.

Zahra dan Faris mendekat, duduk di sampingnya. “Apa yang kau pikirkan, Ray?” tanya Zahra.

Rayhan menatap mereka berdua, lalu tersenyum kecil. “Aku hanya berpikir, mungkin hidup ini tidak sesulit yang kubayangkan. Kita hanya perlu tahu ke mana arah yang kita tuju.”

Faris tersenyum, mengerti maksud Rayhan. “Sejarah kita mungkin tua, tapi nilainya tetap abadi.”

Zahra mengangguk, “Dan kita bisa mengambil banyak pelajaran dari itu.”

Rayhan mengangguk setuju. Kini ia tidak lagi melihat hidupnya sebagai rutinitas tanpa makna. Melalui cerita-cerita tentang para sultan Maluku, ia menemukan bahwa kepemimpinan, keberanian, dan moderasi adalah hal yang bisa diterapkan dalam hidup sehari-hari. Masa lalu bukan hanya sejarah, tetapi sebuah pelajaran yang hidup, yang bisa membawa inspirasi dan kekuatan untuk masa depan.

Tinggalkan Balasan