Quest’s Hasan

Cerpen & Sastra Materi Pembelajaran
Butuh waktu sekitar 7 menit untuk membaca tulisan ini

Bagian Awal

“Eh, si ‘Mobile Legends’ datang!”

Hasan menundukkan kepala, berpura-pura tidak mendengar sindiran Reza dan gengnya saat ia memasuki kelas 10 IPA 2. Tangan kanannya menggenggam erat tali ransel butut yang sudah mulai pudar warnanya. Ia bergegas menuju kursinya di pojok belakang kelas, tempat favoritnya untuk ‘menghilang’.

“Kenapa, San? HP-mu lag lagi? Makanya, jangan pakai HP kentang!”

Tawa mengejek kembali terdengar. Hasan memilih membuka buku Sejarah Kebudayaan Islam-nya, berusaha tenggelam dalam paragraf-paragraf tentang peradaban yang telah lama berlalu. Setidaknya di sana, di antara kisah-kisah perjuangan, ia merasa tidak sendirian.

“Sudah, sudah. Kembali ke tempat duduk masing-masing!”

Suara tegas Pak Zulkifli, guru SKI mereka, memecah keributan. Pria berkacamata dengan jenggot tipis itu memasuki kelas dengan langkah ringan, membawa sebuah kardus misterius yang langsung menarik perhatian seluruh siswa.

Bagian Habasyah

“Hari ini, kita akan membahas tentang hijrah,” Pak Zulkifli memulai, matanya menyapu seluruh kelas. “Tapi sebelumnya… Hasan, bisa bantu saya membagikan ini?”

Hasan mengerjap kaget saat namanya disebut. Dengan ragu, ia bangkit dan berjalan ke depan kelas. Pak Zulkifli membuka kardus yang ternyata berisi… earphone dan smartphone?

“Anak-anak, hari ini kita akan melakukan perjalanan virtual,” Pak Zulkifli tersenyum melihat wajah-wajah penasaran muridnya. “Kalian akan menjelajahi rute hijrah pertama umat Islam ke Habasyah, menggunakan Google Earth.”

Bisik-bisik antusias memenuhi ruangan. Hasan membagikan peralatan dengan hati berdebar. Keahliannya dengan gadget—yang biasanya menjadi bahan ejekan—kini malah membuatnya jadi pusat perhatian positif.

“Oh, dan Hasan,” Pak Zulkifli menahan lengannya sebelum kembali ke tempat duduk. “Kamu yang paling jago main game di kelas ini, kan? Nanti bantu teman-teman yang kesulitan, ya?”

Untuk pertama kalinya hari itu, Hasan tersenyum.

“Jadi, kenapa para sahabat hijrah ke Habasyah?” Pak Zulkifli bertanya setelah semua siswa selesai dengan eksplorasi virtual mereka.

Sarah, yang duduk di sebelah Hasan, mengacungkan tangan. “Karena mereka ditindas di Mekah, Pak. Mereka butuh tempat yang aman untuk beribadah.”

“Betul sekali, Sarah. Dan kenapa Habasyah? Hasan, menurutmu?”

Hasan, yang sedang membantu Dimas dengan pengaturan Google Earth-nya, tersentak. “Um… karena… jauh dari jangkauan kaum Quraisy, Pak? Dan rajanya terkenal adil?”

“Tepat! Mereka mencari tempat di mana mereka bisa menjadi diri sendiri tanpa takut ditindas,” Pak Zulkifli mengangguk. “Kadang dalam hidup, kita juga perlu ‘hijrah’ seperti itu. Tidak harus pindah tempat secara fisik, tapi mencari ruang aman untuk menguatkan diri.”

Hasan tertegun. Mendadak ia teringat mengapa ia suka bermain game online. Di sana, tidak ada yang tahu atau peduli dengan merek sepatunya atau model handphone-nya. Di dunia virtual, ia bisa menjadi dirinya sendiri—atau versi terbaik dari dirinya.

Bel istirahat berbunyi, membuyarkan lamunannya.

“Baik, cukup untuk hari ini,” Pak Zulkifli mengumumkan. “Minggu depan kita akan bahas hijrah ke Thaif. Oh, dan untuk tugas…”

Seluruh kelas mengerang.

“…buatlah refleksi tentang ‘tempat hijrah’ kalian sendiri. Tempat atau kegiatan yang membuat kalian merasa aman, tempat kalian bisa menjadi diri sendiri. Hasan, untuk kamu khusus!”

Hasan yang sudah setengah jalan menuju pintu, berhenti.

“Pakai format video game, ya? Seperti quest log atau semacamnya. Kreatif sedikit!”

Baca juga :  Ali bin Abi Thalib: 4 Tahun Mewarisi Gejolak Periode Utsman

Untuk kedua kalinya hari itu, Hasan tersenyum. Kali ini lebih lebar.

Malam itu, di kamarnya yang sempit, Hasan membuka laptop tuanya. Alih-alih langsung login ke game favoritnya, ia membuka program editing video.

“Quest Log: Finding My Habasyah,” ia mengetik sebagai judul.

Di layar handphone-nya, notifikasi dari grup game-nya terus bermunculul. Tapi untuk pertama kalinya, Hasan tidak terburu-buru untuk merespons.

Ia punya quest baru untuk diselesaikan.

Main Quest: Menemukan Habasyah
Status: In Progress
Objective: Menulis refleksi tentang tempat ‘hijrah’ personal
Reward: ??? (To be discovered)

Bagian Thaif

Quest Log Update:
New Quest Available: The Ta’if Challenge
Status: Active
Objective: Hadapi tantangan di luar zona nyaman

“Lomba Fotografi Sekolah Se-Kota?”

Hasan menatap poster digital yang baru saja di-share Sarah di grup WhatsApp kelas. Temanya “Jejak Sejarah di Sekitar Kita”—sesuatu yang belakangan ini memang menarik minatnya sejak tugas Google Earth dari Pak Zulkifli minggu lalu.

Sarah: Kamu harus ikut, San! Foto-foto game landscape kamu bagus-bagus lho 👍

Hasan: Gak ah… Itu kan cuma screenshot game 😅

Sarah: Ya kan bisa jadi awal buat foto beneran! Daripada di kamar terus 😝

Hasan menggigit bibir. Sejak tugas refleksi “Habasyah Modern” minggu lalu—yang between lain, videonya dapat nilai tertinggi di kelas—dia memang mulai lebih sering berinteraksi dengan teman-teman sekelasnya. Bahkan Reza sudah jarang mengganggunya, apalagi sejak tahu Hasan jago strategi berkat pengalaman main game.

“Hasan! Sudah azan Magrib, Nak!”

Suara Kakek membuatnya tersentak. “Iya Kek, sebentar!”

“Kek, Kakek dulu pernah gagal gak?”

Pertanyaan Hasan membuat kakeknya yang sedang menuangkan teh berhenti sejenak. Mereka duduk di teras belakang setelah salat Magrib, rutinitas yang belakangan ini Hasan nantikan.

“Yang namanya hidup ya pasti pernah gagal, San,” kakeknya tersenyum, menyodorkan secangkir teh. “Kenapa? Ada masalah di sekolah?”

Hasan menceritakan tentang lomba fotografi itu. Tentang keinginannya untuk ikut, tapi juga ketakutannya akan kegagalan.

“Hmm…” kakeknya mengangguk-angguk. “Itu mengingatkan Kakek pada kisah Rasulullah di Thaif.”

“Oh! Yang minggu depan mau dibahas Pak Zulkifli ya, Kek?”

“Betul. Kamu tahu tidak, setelah ditolak dan diusir dari Thaif, Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah. Beliau ditawari untuk menghancurkan penduduk Thaif yang telah menyakitinya. Tapi tahu apa jawaban Rasulullah?”

Hasan menggeleng.

“Beliau justru mendoakan agar dari keturunan mereka akan lahir orang-orang yang beriman. Bayangkan, San. Baru saja dilempar batu, diusir, tapi masih bisa mendoakan kebaikan untuk mereka.”

Hasan terdiam, meresapi kata-kata kakeknya.

“…jadi begitulah kisah hijrah Rasulullah ke Thaif,” Pak Zulkifli mengakhiri penjelasannya. “Ada yang mau berbagi pendapat?”

Sarah mengacungkan tangan. “Pak, kalau dipikir-pikir, Rasulullah itu seperti content creator ya? Beliau mencoba ‘platform’ baru di Thaif setelah di Mekah kurang berhasil.”

Tawa kecil terdengar di kelas, tapi Pak Zulkifli tersenyum. “Menarik sekali analoginya, Sarah. Memang, dalam berdakwah, Rasulullah selalu mencoba berbagai pendekatan. Ayo, ada yang lain?”

Perlahan, Hasan mengangkat tangannya.

“Ya, Hasan?”

“Um… menurut saya, hijrah ke Thaif itu… seperti mengajarkan kita untuk berani keluar dari zona nyaman. Meskipun nantinya gagal.”

“Excellent!” Pak Zulkifli berseru. “Dan apa yang kita pelajari dari kegagalan Rasulullah di Thaif?”

“Bahwa… kegagalan itu tidak apa-apa? Yang penting sudah berani mencoba?”

“Dan?”

Hasan teringat cerita kakeknya. “Dan… bahwa yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi kegagalan itu.”

Baca juga :  Doa Menyempurnakan Usaha

Ding!
[System Notification]
Quest: “The Ta’if Challenge” Status Update
Progress: Participant registration completed
New Objective: Prepare for the Photography Competition
Warning: This quest may result in temporary debuffs: anxiety, self-doubt
Reminder: Failure is not Game Over. It’s just a respawn point.

Hasan tersenyum melihat notifikasi yang ia buat sendiri di aplikasi notes-nya. Tangannya sedikit gemetar setelah menekan tombol ‘submit’ untuk pendaftaran lomba fotografi tadi.

Di sebelahnya, kamera DSLR bekas yang ia beli dari hasil tabungan uang jajannya—dan sedikit bantuan kakek—seolah menunggu untuk digunakan.

“Target pertama… masjid tua di ujung jalan.”

Hasan mengelus kameranya. Besok, ia akan memulai petualangan barunya.

Di luar zona nyaman.

Di luar ‘Habasyah’-nya.
[Preview Quest: Madinah Calling]
Status: Locked
Requirements to unlock:
– Complete “The Ta’if Challenge”
– Learn to embrace both victory and defeat
– Level up social interactions
Coming soon…

Bagian Madinah

Quest Log Update:
Final Quest Unlocked: Madinah Calling
Status: Active
Main Objective: Find your true path
Bonus Objective: Help others find theirs

“Juara Harapan?”

Hasan menatap sertifikat di tangannya dengan perasaan campur aduk. Di sampingnya, Sarah menepuk pundaknya dengan semangat.

“Itu keren banget tau, San! Dari 200 peserta, kamu masuk 10 besar!”

Pak Zulkifli, yang baru bergabung dengan mereka di kantin sekolah, mengangguk setuju. “Foto masjid tua yang kamu ambil itu perspektifnya unik. Seperti menggabungkan masa lalu dan masa kini.”

Hasan tersenyum tipis. Ya, dia memang sengaja mengambil foto masjid tua itu dari sudut di mana gedung-gedung modern terlihat di latar belakangnya. Menggambarkan bagaimana sejarah dan modernitas bisa berdampingan.

“Ngomong-ngomong soal menggabungkan yang lama dan baru,” Pak Zulkifli melanjutkan, “besok kita akan bahas hijrah terakhir Rasulullah. Ke mana?”

“Madinah!” seluruh kelas menjawab serempak.

“Betul. Dan Hasan,” Pak Zulkifli tersenyum penuh arti, “besok kamu yang presentasi, ya?”

Hasan tersedak es tehnya.

Loading Tutorial: Public Speaking
Difficulty Level: Legendary
HP remaining: ???

Hasan mondar-mandir di kamarnya, berlatih presentasi untuk besok. Di mejanya, tergeletak hasil riset tentang hijrah ke Madinah—sebagian dari buku-buku kakeknya, sebagian dari internet, dan sebagian lagi dari game sejarah Islam yang ternyata cukup akurat.

“Kenapa nggak pakai gaya game aja, San?”

Hasan menoleh. Kakeknya berdiri di pintu, membawa dua cangkir teh hangat.

“Maksud Kakek?”

“Ya, presentasi pakai istilah game. Kan kamu jago soal itu. Hijrah ke Madinah itu seperti… apa namanya? Campaign mode?”

Hasan tertawa. Tidak menyangka kakeknya yang mantan guru agama bisa menggunakan istilah gaming.

“Strategy game, Kek. Kayak founding new base gitu.”

“Nah!” kakeknya tersenyum. “Itu dia! Rasulullah membangun basis baru di Madinah. Dengan strategi yang brilian.”

Mendadak, ide itu muncul di kepala Hasan.

Keesokan harinya, ruang kelas 10 IPA 2 berubah menjadi ruang gaming.

“HIJRAH TO MADINAH: THE ULTIMATE STRATEGY GUIDE,” judul presentasi Hasan terpampang di layar proyektor.
Mission Briefing:
• Main Quest: Establish New Muslim Base
• Location: Yathrib (soon to be Madinah)
• Time: 622 CE
• Difficulty: HARDCORE
“Jadi, setelah tutorial level di Mekah dan failed quest di Thaif, Rasulullah mendapat quest baru,” Hasan memulai, suaranya semakin percaya diri saat melihat teman-temannya mulai tertarik. “Bangun basis baru di Yathrib. Tapi ini bukan quest yang gampang.”
Slide berganti, menampilkan peta Google Earth yang sudah dimodifikasi Hasan dengan tambahan rute dan icon-icon game.
“First step: Player harus mengumpulkan allies. Ini dilakukan melalui event yang kita kenal sebagai Perjanjian Aqabah I dan II. Setelah dapat enough support, barulah main quest bisa dimulai.”

Baca juga :  Tulisan Perfek

Selama 15 menit berikutnya, Hasan membawa kelasnya dalam perjalanan hijrah yang diceritakan dengan gaya game walkthrough. Dari strategi Abu Bakar menyiapkan unta, pemilihan Gua Tsur sebagai ‘safe house’, sampai ke sistem persaudaraan Muhajirin-Anshar yang dia gambarkan sebagai ‘perfect guild system’.

Bahkan Reza, yang dulu sering mengejeknya, kini mencatat dengan serius.

“…dan itulah mengapa hijrah ke Madinah berhasil. Bukan cuma karena strateginya perfect, tapi karena semua pihak bekerja sama. Seperti main game MMORPG, kita nggak bisa menang sendiri. We need a team. We need a community.”

Tepuk tangan memenuhi ruangan saat Hasan mengakhiri presentasinya.

“Excellent, Hasan!” Pak Zulkifli berseru. “Ada yang mau memberi komentar?”

Sarah mengacungkan tangan. “Pak, saya baru sadar. Hijrah itu tidak selalu soal pindah tempat ya? Tapi lebih ke… membangun sesuatu yang baru? Menciptakan lingkungan yang lebih baik?”

“Betul sekali, Sarah,” Pak Zulkifli mengangguk. “Dan seperti yang kita lihat dari presentasi Hasan, kadang untuk membangun sesuatu yang baru, kita perlu menggabungkan yang lama dan yang baru. Tradisi dan inovasi. Seperti foto masjid tua-mu itu, San.”

Hasan tersenyum. Mendadak semuanya terasa klop.

QUEST COMPLETED!
All objectives achieved
Bonus achievements unlocked:
• Public Speaking Level Up
• History Buff Badge earned
• Community Builder status activated

“Jadi, kamu mau gabung tim media sekolah?”

Sarah mengangguk semangat. “Iya! Mereka butuh fotografer buat dokumentasi kegiatan sekolah. Apalagi ada proyek besar dokumentasi sejarah sekolah-sekolah Islam se-kota. Kamu tertarik kan?”

Hasan menatap kameranya, lalu ke sertifikat lomba fotografi yang kini terpajang di dinding kamarnya, dan akhirnya ke poster-poster game yang mulai bercampur dengan foto-foto hasil jepretannya.

“Boleh,” dia tersenyum. “Tapi aku ada ide. Gimana kalau kita bikin semacam… virtual tour? Pakai konsep game, tapi untuk mengenalkan sejarah sekolah-sekolah Islam?”

Mata Sarah berbinar. “Itu keren banget! Kita bisa pakai Google Earth kayak waktu belajar hijrah ke Habasyah! Terus…”

Sore itu, di kamar Hasan yang tidak lagi terasa sempit, dua remaja bertukar ide dengan semangat. Di sudut ruangan, kamera dan konsol game berdampingan damai. Dan di dinding, sebuah foto masjid tua dengan latar belakang gedung modern seolah tersenyum, menjadi saksi bisu perjalanan seorang remaja menemukan jati dirinya.

Di luar, azan Magrib berkumandang dari masjid tua itu. Hasan dan Sarah bergegas mengambil wudu.

New quest awaits. But this time, Hasan is ready.
Game status: Continuing…

“Kek, makasih ya.”

“Untuk apa, San?”

“Semuanya. Teh hangatnya, cerita-ceritanya, support-nya…”

“Alhamdulillah. Kakek juga belajar banyak dari kamu. Sekarang Kakek tau apa itu MMORPG.”

“Hehe… Oh ya Kek, besok aku mau motret masjid-masjid tua lain. Kakek mau ikut? Sekalian cerita sejarahnya. Biar kayak… apa ya? Co-op game!”

“Boleh. Tapi salat Subuh dulu.”

“Siap, Raid Leader!”

Tinggalkan Balasan